ABSTRACT
The Correlation of Leadership and Job
Satisfaction with Employee Performance of PPA Consultants, Medan 2005.
This research is aimed: (i) to find
out an obtained positive correlation between leadership and employee
performance of PPA, (ii) to find out an obtained positive correlation between
job satisfaction and employee performance of PPA, and (iii) to find out an
obtained positive correlation between leadership and job satisfaction
simultaneously with employee performance of PPA.
Research population were 157
employees, while the sample were 40 employees took from the population. Before
the data collecting, the instrument were tried out previously toward 30 person
in order to find out teh data validity and reliability.
The data research results were
processed with SPSS and MS Excell programs,
then analyzed their normality and linierity were shows: (i) the
correlation of leadership and employee performance were normally and linerally
distributed with regresion formula of Ŷ = 57,190 + 0,117X1, (ii) the correlation of job satisfaction and employee performance were
normally and linerally distributed with regresion formula of Ŷ = 80,714 - 0,209X1, and (iii) the correlation of leadership and job satisfaction simultaneously with
employee performance were normally and linerally distributed with regresion
formula of Ŷ =70,859 +
0,151X1-0,221X2.
Based on hypothesis test
results, it is found that there were no positive correlation between leadership
and employee performance, an obtain the negative significant correlation
between job satisfaction and employee performance, and an obtain positive
significant coefficient between leadership and job satisfaction simultaneously
with employee performance.
Furthermore, based on
correlation analysis results found that the correlation coefficient of
leadership and employee performance is 0,160 and through t test found that t
count = 0,997 < t table = 1,68. It is mean that
leadership has no significant correlation and less contribution toward employee
performance. Therefore, the asked hypothesis 1 has no proof and not accepted.
While, the correlation coefficient of job satisfaction and employee performance
is 0,412 and through t test found
that t count = -2,788 > t table = 1,68 (in
the reverse side mean). It is mean that job satisfaction has significant
correlation and contribution toward employee performance. Therefore, the asked
hypothesis 2 has proof and accepted. Meanwhile, from multiple correlation
analysis found that correlation coefficient of leadership and job satisfaction
simultaneously with employee performance is 0,460 and the value of F count =
4,973 > F table = 3,25. It is mean that leadership
and job satisfaction simultaneously has significant correlation and
contribution toward employee performance of PPA. Therefore, the asked hypothesis 3 has proof and accepted.
The multiple regresion formula
of Ŷ =70,859 + 0,151X1-0,221X2 means that when there is no leadership and job
satisfaction then employee performance is 70,859. But, when leadership increase
1 point and job satisfaction decrease 1 point simultaneously, then will be
followed the increasment of employee performance of 1 point. Thus, it is
concluded that a better leadership and a lower job satisfaction then employee
performance will be better.
ABSTRAK
Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja
dengan Kinerja Karyawan
PPA Consultants, Medan 2005.
Penelitian ini bertujuan: (i)
mengetahui terdapatnya hubungan yang positif antara kepemimpinan dan kinerja
karyawan PPA, (ii) mengetahui terdapatnya hubungan yang positif antara kepuasan
kerja dan kinerja karyawan PPA, dan (iii) mengetahui terdapatnya hubungan yang
positif antara kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama dengan kinerja
karyawan PPA.
Populasi penelitian sebanyak 157
karyawan, sampel penelitian diambil sebanyak 40 orang. Sebelum dilakukan
pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen terhadap 30 orang
sampel ujicoba untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.
Data hasil penelitian diolah dengan
program SPSS dan MS Excell, dan setelah dilakukan uji normalitas dan linieritas
menunjukkan: (i) Hubungan kepemimpinan dan kinerja karyawan berdistribusi
normal dan linier dengan regresi Ŷ = 57,190 + 0,117X1; (ii) Hubungan kepuasan kerja dan
kinerja karyawan berdistribusi normal dan linier dengan regresi Ŷ = 80,714 - 0,209X1; dan (iii) Hubungan
kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan
berdistribusi normal dan linier dengan regresi Ŷ =70,859 + 0,151X1-0,221X2.
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan positif antara kepemimpinan
dan kinerja karyawan, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kepuasan
kerja dengan kinerja karyawan, dan terdapat hubungan positif antara
kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan.
Selanjutnya berdasarkan hasil
analisis korelasi ditemukan koefisien korelasi kepemimpinan dengan kinerja
karyawan adalah 0,160 dan dengan uji t ditemukan t hit = 0,997 < t
tabel = 1,68. Hal ini memberi arti bahwa kepemimpinan tidak mempunyai
hubungan yang signifikan dan berkontribusi yang tidak berarti terhadap kinerja
karyawan. Dengan demikian hipotesis 1 yang diajukan tidak terbukti dan tidak
dapat diterima kebenarannya. Sedangkan koefisien korelasi kepuasan kerja dengan
kinerja karyawan adalah 0,412 dan dengan uji t ditemukan t hit = -2,788 > t
tabel = 1,68 (dalam artian terbalik). Hal ini memberi arti bahwa
kepuasan kerja memiliki hubungan dan kontribusi yang berarti terhadap kinerja
karyawan. Dengan demikian hipotesis 2 yang diajukan terbukti dan diterima
kebenarannya. Sementara itu dari analisis korelasi ganda ditemukan koefisien
korelasi kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja
karyawan adalah 0,460 dan nilai Fhit = 4,973 > nilai Ftabel = 3,25.
Hal ini memberi arti bahwa kepemimpinan bersama-sama dengan kepuasan kerja
memiliki hubungan dan kontribusi yang berarti terhadap kinerja karyawan PPA.
Dengan demikian hipotesis 3 yang diajukan terbukti dan diterima kebenarannya.
Persamaan
regresi ganda Ŷ =70,859 + 0,151X1-0,221X2 memberi arti bahwa apabila tidak ada
kepemimpinan dan kepuasan kerja maka kinerja karyawan sebesar 70,859. Tetapi
apabila kepemimpinan ditingkatkan 1 poin dan kepuasan kerja diturunkan 1 poin
secara bersamaan, maka akan diikuti peningkatan kinerja karyawan sebesar 1
poin. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa semakin baik kepemimpinan dan semakin rendah kepuasan kerja maka
kinerja karyawan juga akan semakin baik.
ii
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga Tesis yang berjudul “Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja
dengan Kinerja Karyawan PPA Consultants, Medan 2005” ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi
persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Pasca
Sarjana Universitas Negeri Medan.
Penulisan Tesis ini dapat diselesaikan
berkat bantuan dan dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak,
semoga bantuan dan dorongan yang telah diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat
rahmat dari Allah SWT, amin.
Dengan penuh rasa haru dan hormat Penulis
kepada Alm. Ayahanda dan Alm. Ibunda tercinta yang telah melahirkan dan
membesarkan serta selalu Penulis do’akan agar mendapat tempat yang
sebaik-baiknya di sisi Allah SWT. Selanjutnya terima kasih khususnya
disampaikan kepada istri tercinta Niswan Lubis, Ananda Qisthi Mahran Harahap,
Hilfi Najdi Harahap, Syafiq Hazmin Harahap, dan Mazaya Tsabita Harahap, yang
telah dengan penuh kasih sayang, sabar dan setia mendorong Penulis untuk
menyusun dan menyelesaikan Tesis ini.
Terima kasih terutama Penulis sampaikan
kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Zainuddin M.Pd selaku Pembimbing I, Bapak Dr. Yusri,
M.Pd selaku Pembimbing II, Bapak Dr. Ibnu Hajar Damanik, M.Pd, Bapak Dr.
Khairil Ansyari, M.Pd, dan Bapak Dr. Syaiful Sagala, M.Pd masing-masing sebagai
pembimbing dan penguji yang telah memberikan bimbingan dan motivasi serta
pengujian kepada Penulis.
Tak lupa rasa terima kasih juga Penulis
sampaikan kepada:
(1)
Ibunda
Prof.Dr.Hj.Djanius Djamin, SH, MS, selaku Rektor Universitas Negeri Medan,
Bapak Prof. Dr. Belferik Manullang selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Negeri Medan, Bapak Prof.Dr.Ir. Zainuddin, M.Pd selaku Ketua
Program Studi Administrasi Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Negeri
Medan serta seluruh staf yang telah memberikan fasilitas belajar selama Penulis
mengikuti perkuliahan di Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
(2)
Bapak
dan Ibu Dosen di Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan yang telah
memberi dan membekali Penulis dengan ilmu, pengalaman dan kematangan berfikir
untuk penyelesaian Tesis ini.
(3)
Para
Pimpinan, Staf dan Karyawan PPA Consultants yang telah membantu secara moril
dan materil bahkan menjadi responden penelitian Tesis ini.
(4)
Rekan-rekan
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan yang telah banyak
memberikan bantuan moral dalam penyelesaian perkuliahan dan Tesis ini.
Akhirnya Penulis berdo’a kepada Allah
SWT semoga kita semua senantiasa mendapatkan lindungan, karunia dan rahmatnya,
Amin.
Medan, Juli
2005
Penulis,
Asrul Masir Harahap
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT........................................................................................................... i
ABSTRAK............................................................................................................. iii
KATA
PENGANTAR........................................................................................... v
DAFTAR ISI.......................................................................................................... vii
DAFTAR
TABEL................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... xi
DAFTAR
LAMPIRAN........................................................................................... xii
BAB I.
PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah
........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah
............................................................................... 5
C. Pembatasan
Masalah............................................................................... 5
D. Perumusan Masalah
............................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
F. Manfaat Penelitian
................................................................................. 7
BAB II. LANDASAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR DAN
PENGAJUAN
HIPOTESIS............................................................................................ 8
A. Deskripsi
Teoritis................................................................................... 8
1. Hakikat Kinerja
Karyawan............................................................... 8
2. Hakikat
Kepemimpinan.................................................................... 18
3. Hakikat Kepuasan Kerja
.................................................................. 24
4. Profil PT. PPA
Consultants.............................................................. 33
B. Kerangka
Berfikir................................................................................ 38
1. Hubungan
Kepemimpinan dengan Kinerja Karyawan.................. 38
2. Hubungan
Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan................. 39
3. Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja
dengan Kinerja
Karyawan...................................................................................... 40
C. Hipotesis Penelitian
............................................................................ 42
BAB
III. METODOLOGI PENELITIAN
.......................................................... 43
A. Jenis Penelitian
................................................................................... 43
B. Jadwal/Waktu Penelitian
..................................................................... 43
C. Populasi
dan
Sampel........................................................................... 43
1. Populasi........................................................................................... 43
2. Sampel............................................................................................. 44
D. Definisi
Operasional............................................................................. 49
E. Teknik Pengumpulan
Data................................................................... 50
F. Teknik Analisis Data
........................................................................... 54
G. Hipotesis
Statistik................................................................................. 55
BAB
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN................................... 56
A.
Deskripsi
Data..................................................................................... 56
1. Kinerja
Karyawan........................................................................... 56
2. Kepemimpinan................................................................................ 58
3. Kepuasan
Kerja............................................................................... 59
B. Pengujian Persyaratan
Analisis............................................................. 60
1. Uji
Normalitas................................................................................. 60
2. Uji Linieritas.................................................................................. 61
C. Pengujian Hipotesis
............................................................................ 64
1. Hubungan
Kepemimpinan dengan Kinerja Karyawan.................. 64
2. Hubungan
Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan.................. 65
3. Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja
dengan Kinerja
Karyawan........................................................................................ 66
D.
Temuan
Penelitian
.............................................................................. 69
E.
Pembahasan
Penelitian........................................................................ 70
BAB
V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN
SARAN.......................................... 75
A.
Simpulan
............................................................................................. 75
B.
Implikasi
.............................................................................................. 76
C.
Saran-saran
.......................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
.............................................................................................. 79
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 .
Omset, Biaya dan Profit 10 Tahun
Terakhir............................................ 33
Tabel 2.
Jumlah dan Penyebaran Personil
PPA..................................................... 42
Tabel 3.
Sebaran Populasi Berdasarkan Pendidikan, Prestasi, dan Masa
Kerja.... 43
Tabel 4.
Hasil Perhitungan
Sampel....................................................................... 45
Tabel 5.
Jumlah dan Penyebaran Sampel Uji
Coba............................................... 46
Tabel 6.
Jumlah dan Penyebaran Sampel Penelitian
............................................ 46
Tabel 7.
Kisi-Kisi Instrumen ................................................................................ 49
Tabel 8.
Rencana dan Jadwal Penelitian
............................................................... 54
Tabel 9.
Distribusi Frekuensi Kinerja Karyawan (Y)
........................................... 56
Tabel 10.
Distribusi Frekuensi Kepemimpinan
(X1).............................................. 57
Tabel 11.
Distribusi Frekuensi Kepuasan Kerja
(X2)............................................. 58
Tabel 12.
Ringkasan Hasil Analisis Uji Normalitas Setiap Variabel Penelitian
... 59
Tabel 13.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Omset, Biaya dan Profit 10 Tahun
Terakhir........................................ 34
Gambar 2.
Struktur Organisasi PT. PPA
Consultants........................................... 35
Gambar 3.
Hubungan Antara
Variabel.................................................................. 40
Gambar 4.
Histogram dan Poligon Skor Kinerja................................................... 56
Gambar 5.
Histogram dan Poligon Skor Kepemimpinan
.....................................
57
Gambar 6.
Histogram dan Poligon Skor Kepuasan Kerja
....................................
58
Gambar 7.
Gambaran Umum Hubungan Variabel Bebas dan Terikat ................. 65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Gambar 1.
Omset, Biaya dan Profit 10 Tahun
Terakhir........................................ 34
Bab I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di lingkungan setiap perusahaan berlaku ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan tertentu yang menentukan atau mengatur tingkah laku dan kegiatan orang-orang yang menjadi karyawannya dalam mewujudkan pencapaian tujuan dan target perusahaan. Ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan itu sebahagian bersifat tertulis, berlaku juga kebiasaan-kebiasaan sebagai ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang bersifat tidak tertulis. Kebiasaan-kebiasaan sebagai norma hukum yang tidak tertulis itu, dipatuhi dan dilaksanakan dalam setiap langkah kegiatan personil, baik secara perseorangan maupun kelompok untuk mewujudkan tujuan dan misi perusahaan sebagai satu kesatuan.
Kepemimpinan dan kepuasan kerja serta hubungannya dengan kinerja karyawan suatu perusahaan pada umumnya terikat dengan ketentuan, peraturan dan kebiasaan sebagaimana tersebut di atas.
Kinerja karyawan berhubungan erat dengan masalah internal dan masalah eksternal yang mempengaruhinya. Masalah-masalah tersebut secara umum dan utama antara lain adalah human relation, kepemimpinan, komunikasi, disiplin, motivasi, dan kepuasan kerja pihak-pihak yang terlibat dan berinteraksi dalam kegiatan manajemen perusahaan. Di samping itu juga adalah masalah pendukung seperti modal, sarana dan prasarana, dan lain-lain
Kinerja karyawan merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan, terutama untuk efisiensi, efektivitas dan daya saing perusahaan. Adanya keterbatasan dan tidak meratanya sumberdaya manusia terutama dalam jumlah, skills, dan kualifikasi sering mengakibatkan pendistribusian beban kerja menjadi tidak merata. Disamping itu sistem reward and punishment yang ada seringkali belum bisa secara spesifik mengakomodasi keterbatasan dan ketidakmerataan ini. Selanjutnya, program pengembangan karyawan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas karyawan, seringkali tidak berjalan dengan baik. Keseluruhan masalah-masalah tersebut berimplikasi terhadap kinerja karyawan secara khusus dan kinerja perusahaan pada umumnya. Tanpa kinerja karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan untuk mempertahankan keberlangsungan dan pengembangan usahanya. Salah satu masalah pokok yang sering dihadapi oleh perusahaan adalah rendahnya kinerja karyawan yang disebabkan antara lain oleh kepuasan kerja karyawan yang rendah dan kepemimpinan sebagai inti dari sebuah manajemen yang tidak efektif dan tidak dinamis.
PT. PPA Consultants-Jakarta (sebelumnya bernama PT. Pusat Pengembangan Agribisnis, disingkat PPA) adalah salah satu perusahaan jasa konsultan terkemuka di Indonesia yang didirikan dalam rangka ikut berpartisipasi secara aktif menjawab tantangan-tantangan yang nyata khususnya di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia. Pada saat didirikan tahun 1978 di Jakarta, PPA mengemban misi untuk pemberantasan kemiskinan, pengembangan sumberdaya manusia, pengelolaan sumberdaya alam, pencapaian swasembada pangan, merangsang usaha-usaha ekonomi dan kesempatan kerja melalui pembangunan agribisnis, pembangunan yang berkelanjutan, pengembangan daerah pedesaan, dan aktivitas meningkatkan pendapatan masyarakat. Seiring dengan tuntutan globalisasi dan profesionalisme, PPA mengadakan pembaharuan dalam visi dan misinya. Visi PPA saat ini adalah “Ahli dan Terpercaya”. Sedangkan misi PPA adalah meningkatkan kualitas dan daya saing bangsa melalui layanan jasa konsultansi yang efektif, efisien dan berkelanjutan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan dengan lima pilar yakni: (i) inovasi dan kreasi, (ii) ilmu pengetahuan dan teknologi, (iii) kepuasan kerja dan informasi, (iv) SDM yang handal, serta (v) kepuasan klien, yang berlandaskan nilai norma dan etika.
PPA sebagai salah satu organisasi kerja tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang berlaku, baik berupa peraturan-peraturan tertulis maupun kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis di lingkungannya. Peraturan kepegawaian di PPA seperti halnya pada perusahaan lain di Indonesia memiliki sistem prestasi dan pengembangan karier yang antara lain dengan reward and punishment system. Prestasi dan karier karyawan, terkait erat dengan kepuasan kerja karyawan tersebut. Bertolak dari sistem yang dianut itu, untuk memangku suatu jabatan, di samping persyaratan masa kerja, ditentukan juga oleh prestasi kerja karyawan yang bersangkutan. Dengan demikian karier seseorang akan berkelanjutan secara efektif, bilamana ditunjang oleh prestasi kerjanya yang dinilai positif dan memuaskan oleh pimpinannya. Penilaian itu merupakan tanggung jawab atasan langsung sebagai pimpinan unit kerja masing-masing. Keinginan berprestasi dan berkarir ini masih menjadi masalah di PPA dan hal ini sangat erat hubungannya dengan kinerja karyawan PPA.
Demikian pula sebaliknya, dalam hal kepemimpinan, setiap pimpinan di lingkungan PPA selalu memerlukan sejumlah personil sebagai pembantunya dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi volume dan beban kerja unit masing-masing. Para pembantunya masih belum memenuhi harapan yang seharusnya terdiri dari personil atau karyawan yang profesional, trampil atau memiliki keahlian dalam bidang tugas masing-masing serta memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Dengan kata lain, pemimpin di PPA masih memerlukan sejumlah personil atau karyawan yang mampu dan selalu terdorong untuk berprestasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya, kepemimpinan PPA masih belum efektif dan dinamis serta optimal mendorong dan mengarahkan karyawan untuk berprestasi dan mimiliki kinerja yang baik. Kepemimpinan erat hubungannya dengan kinerja karyawan, kepemimpinan yang baik akan menimbulkan kinerja karyawan yang baik pula.
PPA sebagaimana perseroan terbatas (PT) lainnya yang berorientasi bisnis, menjadikan profit/laba sebagai ukuran utama kinerja perusahaan yang sangat ditentukan oleh kinerja karyawannya. Kinerja karyawan PPA selalu dievaluasi setiap 6 bulan dan melalui RUPS/RUPSLB. Dalam sepuluh tahun belakangan ini (1994 – 2003) kinerja manajemen PPA yang sangat ditentukan oleh kinerja karyawannya mengalami pasang surut dengan kecendrungan menurun. Kinerja karyawan PPA dipengaruhi oleh banyak faktor, baik secara internal maupun eksternal yang antara lain mungkin erat hubungannya dengan masalah kepemimpinan dan kepuasan kerja. Hasil evaluasi yang dilakukan secara rutin menunjukkan bahwa kinerja karyawan PPA yang cenderung menurun antara lain diduga disebabkan oleh kepuasan kerja yang semakin rendah dan kepemimpinan yang semakin tidak efektif dan tidak dinamis.
Hubungan kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan ini diteliti melalui studi yang dilaksanakan pada PT. PPA Consultants-Jakarta.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar
belakang masalah, permasalahan menyangkut kinerja karyawan yang berhubungan
erat dengan efisiensi dan efektifitas dalam mencapai tujuan perusahaan, terkait
erat dengan berjalan atau tidaknya fungsi-fungsi manajemen. Kinerja karyawan
berhubungan erat dengan masalah internal dan masalah eksternal yang
mempengaruhinya. Masalah-masalah tersebut secara umum dan utama antara lain
adalah human relation, kepemimpinan, komunikasi, disiplin, motivasi dan
kepuasan kerja pihak-pihak yang terlibat dan berinteraksi dalam kegiatan
manajemen perusahaan. Di samping itu juga adalah masalah pendukung seperti
modal, sarana dan prasarana, dan lain-lain.
Kinerja karyawan
PPA yang mencerminkan gambaran dari kinerja manajemen dalam sepuluh tahun
belakangan ini (1994 – 2003) mengalami pasang surut dengan kecendrungan menurun
yang antara lain diduga disebabkan oleh kepuasan kerja karyawan yang semakin
rendah dan kepemimpinan yang semakin tidak efektif dan tidak dinamis.
Berdasarkan
uraian di atas, permasalahan yang diidentifikasi pada hubungan kepemimpinan dan
kepuasan kerja dengan kinerja karyawan PPA Consultants adalah :
1.
Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan dan
kinerja karyawan PPA?.
2.
Apakah terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan
kinerja karyawan PPA?.
3.
Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan dan
kepuasan kerja dengan kinerja karyawan PPA?.
C. Pembatasan Masalah
Banyak faktor yang
berhubungan erat dengan kinerja karyawan PPA, namun penelitian ini hanya
dibatasi pada dua masalah yang dianggap memiliki hubungan yang paling erat
yaitu masalah kepemimpinan dan masalah kepuasan kerja.
Pemilihan kedua
masalah tersebut didasarkan kepada dugaan bahwa kepemimpinan dan kepuasan kerja
paling positip hubungannya dengan kinerja karyawan jika dibandingkan dengan
masalah-masalah lainnya. Dengan kepemimpinan yang tidak efektif dan tidak
dinamis, kinerja karyawan akan menjadi tidak baik karena karyawan tidak
terdorong untuk memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Rendahnya
kepuasan kerja akan mengakibatkan kinerja karyawan semakin rendah, karena
rendahnya keinginan karyawan untuk berprestasi dan berkarir. Dengan
kepemimpinan yang tidak efektif dan tidak dinamis serta kepuasan kerja karyawan
yang rendah, kinerja karyawan akan menjadi tidak baik dan semakin rendah.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan
pembatasan masalah di atas dapat dikemukakan rumusan masalah dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.
Apakah terdapat hubungan yang positip antara
kepemimpinan dan kinerja karyawan PPA ?.
2.
Apakah terdapat hubungan yang positip antara kepuasan
kerja dan kinerja karyawan PPA ?.
3.
Apakah terdapat hubungan yang positip antara
kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan PPA
?.
E. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui terdapatnya hubungan yang positip antara
kepemimpinan dan kinerja karyawan PPA.
2.
Mengetahui terdapatnya hubungan yang positip antara
kepuasan kerja dan kinerja karyawan PPA.
3.
Mengetahui terdapatnya hubungan yang positip antara
kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan
PPA.
F. Manfaat
Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat tidak saja bagi karyawan PPA dalam usaha peningkatan
prestasi kerja yang berkaitan dengan manajemen SDM yang dalam hal ini
menyangkut proses rekrutmen, promosi dan mutasi, pendidikan dan pelatihan, akan
tetapi yang lebih penting lagi adalah bagi kinerja manajemen PPA secara
keseluruhan dalam rangka menunjang pencapaian tujuan, visi dan misinya.
Di samping itu, hasil studi ini
nantinya juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan
dalam hal meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk peningkatan kinerja,
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, dan menjadi rujukan serta bahan kajian
bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan.
Bab II.
KERANGKA
TEORITIS, KERANGKA BERFIKIR
DAN PENGAJUAN
HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritis
1. Hakikat
Kinerja Karyawan
Istilah kinerja dalam bahasa Inggerisnya
adalah "performance" dan
sering juga disebut dengan unjuk kerja atau prestasi kerja. Menurut The
Webster Dictionary arti kata "performance" adalah (1)
prestasi, (2) pertunjukan, (3) pelaksanaan tugas. Istilah kinerja yang
dikemukakan dalam penelitian ini merupakan padanan atau terjemahan dari kata performance
atau job performance. Istilah yang dikemukakan para ahli terdapat dalam
berbagai literatur tentang manajemen sumber daya manusia.
Kinerja menurut Wahjosumirdjo
(1999) adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang
berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Untuk mendapatkan hasil kerja yang
baik, sebagaimana yang diharapkan oleh perusahaan, maka setiap personil harus
mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam pelaksanaan tugas-tugas.
Menurut Withmore (1997), kinerja
adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang. Lebih lanjut
Whithmore menjelaskan mengenai kinerja dan mengelompokkan ke dalam dua kegiatan
yaitu: (i) menetapkan standar tertinggi orang itu sendiri yang melampaui apa
yang diminta atau diharapkan orang lain, dan (ii) suatu perbuatan, suatu
prestasi, suatu pameran umum keterampilan seseorang yang diekspresikan penuh
potensi. Definisi ini tampak masih
sangat umum, karena kinerja tidak selalu berkaitan dengan pekerjaan yang
dilakukan seorang karyawan. Meskipun demikian secara sederhana dapat dipahami
bahwa apapun yang dilakukan oleh seseorang, maka hasilnya dapat disebut sebagai
kinerjanya.
Definisi kinerja yang lebih mengarah
pada hasil kerja seorang karyawan dikemukakan Wilson (1990) bahwa kinerja dapat
diartikan sebagai hasil kerja dari seorang karyawan. Definisi yang hampir
serupa juga dikemukakan oleh Cascio (1992) bahwa kinerja merujuk pada
pencapaian karyawan terhadap tugas-tugas yang diberikan.
Menurut Schermerhorn (1985), kinerja
adalah kuantitas dan kualitas prestasi tugas dari seseorang atau kelompok.
Definisi ini menunjukkan bahwa ada ukuran-ukuran tertentu untuk mengetahui
derajat kinerja seorang karyawan baik dalam bentuk jumlah hasil pekerjaan atau
kuantitas dan mutu atau kualitas pekerjaannya. Seorang karyawan akan
dikategorikan memiliki kinerja yang baik apabila kinerjanya sesuai atau lebih
tinggi dari standar yang telah ditentukan. Sebaliknya kinerja seorang karyawan
dikategorikan buruk jika lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan.
Menurut Bowditch (1997), kinerja berkaitan dengan perilaku yang diarahkan
kepada misi atau sasaran organisasi. Definisi ini menjelaskan bahwa ukuran
kinerja tidak saja pada kuantitas dan kualitas tetapi juga perilaku di tempat
kerja secara keseluruhan.
Kesimpulan semacam ini muncul karena
tidak semua hasil kerja karyawan dapat diukur secara kuantitatif. Bagi karyawan
yang bekerja sebagai penjual atau pembuat suatu barang/jasa, maka memang sangat
mudah bagi pimpinan untuk mengukur kuantitas dan kualitas kinerja dengan
melihat jumlah barang/jasa yang terjual dan jumlah barang/jasa yang berhasil
diproduksi serta rendahnya barang/jasa yang dikembalikan pembeli atau
barang/jasa yang rusak. Tetapi kondisi semacam itu tidak dapat diberlakukan
pada karyawan yang melakukan kerja administratif, yang tidak langsung berkaitan
dengan produk.
Sementara itu ada pendapat lain dari
Gomes (1995) yang mendefinisikan kinerja sebagai catatan yang diperoleh dari
pelaksanaan fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama suatu periode waktu
tertentu. Definisi ini menjelaskan hendaknya informasi mengenai kinerja
didokumentasikan, sehingga bila kinerja tersebut dikomunikasikan kepada
karyawan, mereka akan melihat bahwa hasil tersebut relatif objektif. Di samping
itu pemantauan kinerja harus dilakukan secara periodik dalam jangka waktu
tertentu sehingga karyawan yang bersangkutan memiliki cukup waktu untuk
melakukan perbaikan-perbaikan guna mewujudkan kinerja yang maksimal.
Berdasarkan beberapa definisi
kinerja di atas, tampak bahwa kinerja seorang karyawan menggambarkan hasil dari
pekerjaan atau tugas yang diberikan kepadanya yang dibandingkan dengan ukuran
atau standar yang telah ditentukan. Oleh karena itu, agar pekerjaan yang dihasilkan
atau kinerjanya bernilai tinggi, karyawan tersebut harus memiliki beberapa hal
yang dapat mendukung pelaksanaan kerja tersebut. Kesimpulan semacam ini
menimbulkan implikasi perlunya pimpinan mengenali faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kinerja dari seorang karyawan.
Wagner (1995) menyebutkan bahwa
kinerja merupakan fungsi dari usaha, ketepatan persepsi terhadap peran, dan
kemampuan. Pengertian yang hampir serupa dikemukakan oleh Bedeian (1983),
kinerja adalah fungsi interaksi dari tiga faktor individual yaitu: kemampuan,
motivasi, dan kejelasan peran. Kedua definisi ini menjelaskan bahwa faktor yang
diperlukan adalah tingkat usaha dari karyawan yang bersangkutan, persepsi yang
tepat terhadap peran yang diberikan kepadanya, serta kemampuannya baik berupa
pengetahuan maupun ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan kerja. Di
samping itu, kedua definisi tersebut menekankan bahwa yang dapat mempengaruhi
tingkat kinerja seorang karyawan adalah faktor yang berasal dari dirinya yaitu
kemampuan, motivasi yang dimilikinya, dan pemahamannya terhadap peran yang
diberikan.
Sementara itu, ada ahli lain
menyebutkan bahwa kinerja karyawan tidak saja dipengaruhi oleh faktor dari
karyawan itu sendiri, tetapi juga oleh kelompok dan lingkungan organisasi
tempatnya bekerja. Kesimpulan semacam itu dikemukakan oleh Bowditch (1997),
bahwa kinerja merupakan fungsi dari: kemampuan, keterampilan, pemahaman
terhadap tugas, kesempatan untuk berkinerja, tingkat upaya dan ketekunan,
sumber daya yang dibutuhkan, faktor kelompok, serta faktor organisasi dan
lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja seorang karyawan yaitu: (1) usaha,
(2) motivasi, (3) kemampuan, (5) ketepatan persepsi terhadap peran atau tugas,
(6) kesempatan untuk berkinerja, (7) ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan,
(8) faktor kelompok, (9) faktor organisasi dan lingkungan seperti gaya
kepemimpinan atasan, keamanan tempat kerja dan iklim organisasi.
Hal penting juga perlu diperhatikan
adalah penggunaan kata “fungsi” yang terdapat pada 3 (tiga) definisi kinerja
yang dikemukakan Bedeian (1983), Wagner (1995), dan Bowditch (1997) menunjukkan
bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau semua faktor tersebut secara
langsung akan mempengaruhi kinerja karyawan yang bersangkutan. Di samping itu
definisi dan uraian tersebut di atas juga menunjukkan keterkaitan antara
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan
tersebut diatas, diperoleh gambaran bahwa kinerja seorang karyawan dapat
berubah-ubah berdasarkan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhinya.
Pada suatu ketika kinerja karyawan bisa berada pada tingkat yang tinggi, pada
saat lain berada dalam taraf normal atau biasa saja, dan pada waktu yang lain
dapat juga mengalami penurunan. Hal tersebut sangat tergantung pada kondisi dan
situasi yang mempengaruhi karyawan tersebut. Kendatipun taraf kecakapannya
tergolong tinggi dan pengalamannya cukup luas, tetapi bila vitalitas atau kondisi
fisiknya sedang kurang baik, maka kinerjanya kurang maksimal.
Karyawan yang memiliki motivasi kuat
dalam melaksanakan tugasnya cenderung memiliki kinerja yang tinggi. Motivasi
yang kuat saja tidak cukup, tanpa diimbangi pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dan sesuai untuk melakukan kerja.
Dengan adanya pengetahuan dan
keterampilan, memungkinkan karyawan dapat melakukan pekerjaan dengan tepat. Di
samping itu faktor persepsi atau pemahaman terhadap perannya juga sangat
berpengaruh. Jika seorang karyawan keliru mempersepsi peran yang diberikan
kepadanya, maka sangat mungkin kinerja yang ditunjukkan justru bertolak
belakang dengan hasil yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.
Seorang karyawan akan dapat
berkinerja baik bila ia memiliki peluang untuk mewujudkan kinerjanya. Karyawan
yang memiliki motivasi tinggi, memiliki kemampuan dan keterampilan serta
memiliki persepsi yang tepat mengenai suatu pekerjaan, tetapi ia tidak
mendapatkan peluang untuk melakukan kerja tersebut maka faktor lain yang telah
dimiliki akan menjadi mubazir. Di samping itu, karyawan juga memerlukan sumber
daya untuk melakukan pekerjaan.
Tersedianya sumber daya seperti
peralatan kerja yang memadai akan memungkinkan karyawan dapat bekerja secara
maksimal. Uraian ini menegaskan kepada pimpinan untuk memperhatikan faktor
kesempatan penyediaan fasilitas kerja, agar bawahannya dapat bekerja dengan
baik sehingga memperoleh kinerja yang maksimal. Di samping itu pada dasarnya
setiap manusia memiliki perbedaan-perbedaan pada tingkat upaya, motivasi,
persepsi, kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki. Oleh karena itu kinerja
di antara karyawan juga berbeda.
Salah satu tugas penting pimpinan
dalam mengelola sumber daya manusia adalah melakukan penilaian terhadap kinerja
karyawannya. Kegiatan tersebut penting dilaksanakan agar pimpinan mendapatkan
umpan balik atas upaya karyawan menyangkut pelaksanaan kerja mereka. Dengan
demikian mereka dapat dibentuk dan dikembangkan menjadi kelompok-kelompok kerja
yang kohesif guna tercapainya tujuan organisasi.
Menurut Newstrom (1993), penilaian
kinerja adalah proses penilaian prestasi karyawan. Sementara itu Stoner (1995)
menyatakan bahwa penilaian kinerja adalah membandingkan kinerja seorang
karyawan dengan standar atau sasaran yang dikembangkan pada posisi karyawan
tersebut. Dalam pendekatan yang serupa Handoko (1993) menyatakan bahwa
penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah proses melalui
mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.
Berdasarkan beberapa definisi di
atas, tampak bahwa diperlukan ukuran atau standar tertentu untuk melakukan
proses penilaian kinerja. Berdasarkan ukuran atau standar tersebut pimpinan
dapat mengetahui bagaimana tingkat kinerja yang dimiliki karyawannya. Penilaian
kinerja yang dilakukan haruslah memberikan gambaran yang akurat mengenai
kinerja karyawan. Oleh karena itu sistem penilaian yang digunakan harus
berhubungan dengan pekerjaan (job related), praktis dan memiliki
standar-standar dengan menggunakan berbagai ukuran yang dapat diandalkan (reliable).
Pengertian yang terkandung dalam prinsip “berhubungan dengan pekerjaan” (job
related) adalah bahwa sistem penilaian dapat digunakan untuk menilai
perilaku-perilaku kritis yang mewujudkan keberhasilan perusahaan atau
organisasi. Sementara itu yang dimaksud dengan prinsip “praktis” mengandung
makna bahwa sistem penilaian dapat dipahami atau dimengerti oleh para penilai
dan karyawan yang dinilai. Hal lain yang juga diperlukan adalah adanya
standar-standar pelaksanaan kerja (performance standards), sehingga
kinerja dapat diukur.
Penilaian kinerja dilakukan untuk
mengetahui kondisi karyawan. Asumsi ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Cascio (1992), bahwa penilaian kinerja adalah uraian
sistematis dari pekerjaan yang berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan individu
atau kelompok. Definisi ini menjelaskan bahwa dengan menggunakan data penilaian
kinerja, pimpinan dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan karyawannya. Kekuatan
yang ada harus dipertahankan dan kalau mungkin ditingkatkan, sedangkan
kelemahan yang ada ditutupi atau diperbaiki.
Menurut Newstrom (1993), penilaian
kinerja diperlukan untuk: (1) mengalokasikan sumber daya dalam lingkungan yang
dinamis, (2) memberikan motivasi dan imbalan kepada karyawan, (3) memberikan
umpan balik kepada karyawan tentang hasil kerja mereka, (4) membina hubungan
yang baik dalam kelompok, (5) melatih dan mengembangkan karyawan, dan (6)
mematuhi peraturan perundang-undangan. Menurut Torrington (1989), penilaian
kinerja juga memiliki manfaat bagi karyawan: (1) mempertinggi kemampuan, (2)
motivasi, (3) sasaran karir, dan (4) pengembangan karir.
Uraian di atas menunjukkan bahwa
penilaian kinerja penting untuk dilakukan karena begitu besarnya manfaat yang
dapat diperoleh baik bagi pihak manajer maupun bagi karyawan. Selain itu
penilaian kinerja hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar hasil
penilaian benar-benar menunjukkan keadaan yang sebenarnya.
Pada uraian di atas telah
dikemukakan bahwa penilaian kinerja adalah suatu proses. Oleh karena itu agar
proses tersebut dapat terlaksana dengan baik, perlu dipahami langkah-langkah
yang harus dijalankan dalam melakukan penilaian kinerja. Menurut Dressler
(1994) terdapat tiga langkah dalam melakukan penilaian kinerja yaitu: (1)
mendefinisikan pekerjaan, (2) menilai kinerja, dan (3) memberikan umpan balik.
Mendefinisikan pekerjaan mengandung
makna tentang adanya upaya memastikan bahwa antara pimpinan dan karyawan
sepakat tentang tugas-tugas dan standar dari jabatan yang diemban. Aktivitas
menilai kinerja mengandung makna bahwa pimpinan membandingkan kinerja aktual
dari karyawan dengan standar-standar dalam definisi jabatan, Sementara itu
umpan balik berkaitan dengan adanya dialog antara pimpinan dengan karyawan
untuk membahas kinerja yang ada dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki kinerja karyawan yang bersangkutan.
Selanjutnya untuk menjaga agar
penilaian kinerja dapat terlaksana secara efektif, Gomes (1995) memberikan
beberapa panduan antara lain: (1) sesuaikan kriteria kinerja dengan
situasi-situasi pekerjaan, (2) gunakan pendekatan penilaian kinerja yang
partisipatif, (3) fokuskan penilaian pada perilaku-perilaku tertentu atau
pencapaian tujuan, (4) fokuskan pada pemecahan masalah ketimbang pada judgement,
(5) pisahkan diskusi-diskusi mengenai gaji dari penilaian kinerja, dan (6)
berikan latihan kepada penilai kinerja.
Istilah karyawan memiliki makna yang
hampir sama dengan istilah pegawai (employee), buruh (labor) atau
pekerja, namun sebutan pegawai seringkali dikonotasikan sebagai orang yang
bekerja di sektor pemerintahan. Hal tersebut tampak dari penggunaan istilah
Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi mereka yang sudah mendapatkan pengangkatan
sebagai pegawai tetap. Di samping itu lembaga yang secara nasional mengurusi
masalah pegawai negeri disebut Badan Kepegawaian Negara (BKN), sedangkan wadah
organisasinya disebut Korps Pegawai Negeri Seluruh Indonesia (KORPRI). Sebutan
karyawan seringkali digunakan untuk karyawan swasta, sedangkan wadah
organisasinya menggunakan istilah pekerja seperti Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI). Sementara itu sebutan buruh seringkali dilekatkan pada
pekerja-pekerja pabrik tingkat pelaksana atau operator seperti buruh konveksi
atau buruh pabrik pabrik rokok.
Organisasi yang menggunakan sebutan buruh antara lain Serikat Buruh
Seluruh Indonesia (SBSI).
Penggunaan semua sebutan di atas
tampaknya melekat pada orang-orang yang bekerja pada suatu lembaga formal
seperti pemerintahan atau perusahaan atau melakukan suatu aktivitas yang
merupakan bagian dari kegiatan organisasi secara keseluruhan. Di samping itu ada sebutan lain yang
belakangan ini sering digunakan yaitu sumber daya manusia (SDM). Sedangkan Nawawi (1997) mendefinisikan sumber
daya manusia sebagai, "manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi
(disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja, karyawan atau pegawai)".
Jika diamati penjelasan di atas,
secara mendasar tidak terdapat perbedaan yaitu karyawan adalah orang yang
melakukan pekerjaan, dan atas pekerjaan tersebut mereka memperoleh penghasilan
berupa gaji ataupun upah. Di samping itu
penjelasan di atas juga menegaskan bahwa karyawan bukan pemilik dari usaha atau
perusahaan, meskipun belakangan ini berkembang adalah kepemilikan saham
perusahaan oleh kelompok karyawan yang tergabung dalam koperasi karyawan.
Hasil penelitian Masyhuri (2001)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positip antara pengetahuan manajemen dan
kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan. Semakin luas
pengetahuan manajemen dan makin tinggi kepuasan kerja, akan semakin tinggi pula
kinerja karyawan.
Peraturan Perusahaan PPA Consultants
(2002) menetapkan bahwa evaluasi kinerja karyawan dilakukan secara reguler dua
kali dalam setahun atau setiap enam bulan sekali, yang merupakan gabungan hasil
evaluasi atasan terhadap bawahan dan evaluasi diri sendiri (self assessment).
Indikator yang dievaluasi menyangkut (1) efektifitas implementasi tugas dan
kewajiban, (2) pengendalian biaya/keuangan, (3) kreativitas dan keinovatifan,
(4) penggunaan wewenang, jabatan, posisi dan tanggung jawab yang diamanahkan,
dan (5) komitmen terhadap kerjasama dalam tim.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan
di atas, dapat disintesiskan bahwa kinerja karyawan adalah hasil kerja yang
ditunjukkan karyawan dalam menjalankan tugasnya, yang mencakup ketaatan pada
tata tertib di tempat kerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan kerjasama
dengan rekan kerja. Selanjutnya
berdasarkan sintesis ini, dapat dirumuskan indikator dari kinerja karyawan
dalam penelitian ini, yaitu: (1) ketaatan pada peraturan, (2) tanggung jawab
terhadap pekerjaan, (3) kerjasama dengan rekan kerja, (4) kreatifitas dan
inovasi, dan (5) pengendalian biaya.
2. Hakikat
Kepemimpinan
Menurut
Daft (1988); “ a leadership is the
ability to influence other people toward the attainment of organizational goals”. “ A leadership is the ability to influence
a group toward the achievement of goals” (Robbins, 1991).
Kepemimpinan/manajemen berkewajiban menggerakkan dan mengarahkan semua personil
atau kelompok agar mewujudkan tujuan organisasi. Sejalan dengan pendapat itu,
Nawawi (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah tindakan/perbuatan di antara
perseorangan dan kelompok yang menyebabkan, baik orang seorang maupun kelompok
bergerak ke arah tujuan tertentu. Kepemimpinan tampak dalam proses dimana
seorang pemimpin mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau mengawasi
fikiran-fikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain.
Menurut
Hicks (1996), seorang manajer memilih bentuk atau corak kepemimpinan untuk
maksud penggunaannya agar menghasilkan efektifitas sebagai seorang pimpinan.
Pilihan yang benar suatu corak kepemimpinan yang menghubungkan secara tepat
dengan motivasi eksternal dapat membimbing kepada pencapaian secara sekaligus
baik tujuan individu maupun perusahaan. Dengan suatu corak kepemimpinan atau
teknik-teknik motivasi yang tidak tepat, tujuan organisasi dapat terganggu
serta para pekerja dapat merasakan kebencian, keagresifan, kegelisahan, serta
merasakan ketidakpuasan. Gaya kepemimpinan dari otokrasi, demokrasi dan
kebebasan berusaha, kesemuanya itu memberikan keadaan yang menguntungkan dan
merugikan. Umumnya manajer menggunakan semua corak ini pada suatu waktu atau
lainnya, akan tetapi kepemimpinan yang
demikian sering tersusun, menggolongkan seorang manajer sebagai seorang
otokrat, demokrat atau pemimpin yang bebas dalam kegiatannya (liberal).
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak masalah-masalah yang dihadapi, baik masalah pribadi maupun masalah sosial yang menyangkut orang banyak. Oleh karena itu diperlukan seorang yang mampu untuk memimpin, membimbing dan sekaligus mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Orang yang mampu untuk memimpin, membimbing dan sekaligus mampu memecahkan masalah disebut pemimpin.
Dalam kehidupan berorganisasi,
pemimpin memegang peranan yang sangat penting, bahkan sangat menentukan dalam
usaha mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin dalam melakukan aktivitasnya
memerlukan sekelompok orang lain yang disebut bawahan. Merekalah yang dikendalikan,
dipengaruhi dan digerakkan agar mau bekerja secara efektif dan efisien sesuai
dengan keinginan pemimpin.
Selain bawahan, pemimpin juga
membutuhkan sarana dan prasarana dalam rangka untuk memperlancar tugasnya
sebagai pemimpin. Pemimpin juga dituntut untuk membina hubungan baik dan
menyenangkan dengan bawahan dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Seorang pemimpin yang berhasil
adalah seorang pemimpin yang memiliki kemampuan pribadi tertentu, mampu membaca
keadaan bawahannya dan lingkungannya. Faktor yang harus diketahui dari
bawahannya adalah kematangan mereka, sebab ada kaitannya dengan gaya
kepemimpinan. Hal ini dimaksudkan agar pemimpin dapat dengan tepat menerapkan
pengaruhnya pada bawahan sehingga pemimpin memperoleh ketaatan yang memadai.
Keberadaan pemimpin yang efektif dan dinamis dalam
struktur organisasi sangat strategis. Karena dengan adanya komitmen yang tinggi
dari seorang pemimpin untuk meningkatkan kualitas para bawahannya, maka
diharapkan akan meningkat pula kualitas bawahannya. Pemimpin yang efektif dan
dinamis akan mampu mengendalikan, mengarahkan dan memotivasi bawahannya ke arah
tercapainya kinerja karyawan, seperti yang diharapkan oleh pemimpin dalam suatu
organisasi
Menurut
Yukl (1944), agar organisasi dapat berjalan dengan baik, salah satunya unsur
yang berperan adalah kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi
interpretasi para pengikut terhadap suatu peristiwa, memilih tujuan kelompok
atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja, memotivasi
para pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan kerja
kelompok, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada
di luar kelompok atau organisasi. Definisi ini memberikan pengertian yang
sangat jelas, bahwa pihak atasan (pemimpin) yang mempengaruhi kegiatan para
pengikut melalui proses komunikasi ke arah tindakan mencapai tujuan. Sedangkan
Camilla (1974) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh dari tindakan
tingkah laku, kepercayaan dan perasaan dari seseorang dalam sebuah sistem
sosial dengan orang lain dengan harapan adanya kerjasama dari orang yang sedang
dipengaruhi. Selanjutnya Fieldman (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan
merupakan tingkah laku seorang individu untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas
kelompok ke arah pencapaian tujuan (organisasi). Pendapat tersebut menunjukkan
bahwa kepemimpinan mengacu kepada tingkah laku seorang pemimpin dalam
memberikan bimbingan, arahan kepada para bawahannya dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh perilaku dari
pemimpin tersebut.
Perilaku kepemimpinan seorang manajer
dipengaruhi oleh motivasi internalnya sejajar dengan perilaku seorang karyawan
yang dipengaruhi oleh kepentingan khususnya sendiri, keinginan dan harapannya.
Tambahan pula, perilaku seorang manajer akan dipengaruhi oleh latihan dan
pengalamannya. Termasuk di antara kekuatan dalam diri manajer yang mempengaruhi
corak kepemimpinan yang mana yang akan dipilihnya yaitu (1) sistem
penilaiannya, (2) kepercayaannya terhadap bawahannya, (3) kecenderungan
kepemimpinannya sendiri, dan (4) perasaan aman dalam suatu situasi yang tidak
menentu. Keempat variabel ini akan menempatkan manajer melakukan penilaiannya
sendiri meliputi perasaan dalam pengambilan tanggung jawab, pembuatan keputusan
dengan yang lain-lainnya dan pada kedudukan yang penting atas kemanfaatan,
efisiensi, dan pelaksanaan serta pemenuhan oleh para karyawan itu sendiri.
Kepercayaannya terhadap para bawahan tersebut menyangkut kepercayaan yang
dimilikinya dalam diri para bawahan serta praduga yang dibuatnya yang
menyangkut tabiat/sifat-sifat manusia.
Menurut
Stoner (1995) kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan
mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok.
Ada tiga implikasi penting dari batasan tersebut : (1) kepemimpinan harus
melibatkan orang lain – bawahan atau pengikut. Karena kesediaan mereka menerima
pengarahan dari pemimpin, anggota kelompok membantu menegaskan status pemimpin
dan memungkinkan proses kepemimpinan. Tanpa bawahan, semua sifat-sifat
kepemimpinan seorang manajer akan menjadi tidak relevan. (2) Kepemimpinan
mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggota
kelompok. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan beberapa aktivitas
anggota kelompok, yang tidak dapat dengan cara yang sama mengarahkan aktivitas
pemimpin. Meskipun demikian, anggota kelompok jelas akan mempengaruhi aktivitas
tersebut dengan sejumlah cara. (3) Disamping secara sah mampu memberikan
bawahan atau pengikutnya; perintah atau pengarahan, pemimpin juga dapat
mempengaruhi bawahan dengan berbagai cara lain. Schermerhorn (1985) menyatakan
kepemimpinan adalah suatu proses penggunaan kekuatan untuk memperoleh pengaruh
antara manusia.
Mengacu
kepada pendapat tersebut bahwa kepemimpinan dinyatakan sebagai proses, artinya
kepemimpinan itu berlangsung dalam kurun waktu cukup lama yang dimulai dari
membuat perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pembimbingan (directing), pengawasan (controlling) dan kembali
lagi kepada pembuatan perencanaan untuk kegiatan selanjutnya.
Menurut
Hersey (1995) kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi aktivitas seseorang
atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan dalam situasi tertentu.
Definisi di atas menunjukkan bahwa dalam situasi apapun jika seorang berusaha
mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka di situ sedang berlangsung
proses kepemimpinan. Setiap saat seorang berusaha mempengaruhi perilaku orang
lain, maka orang itu adalah pemimpin potensial dan orang yang dipengaruhi
adalah pengikut potensial. Oleh karena itu posisi seseorang tidak menjadi
penghalang apakah orang itu adalah atasan, rekan sejawat, bawahan, kawan, atau
sanak keluarga. Menurut teori ini, seorang pemimpin tidak harus menjadi manajer
dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Secara
umum dapat dikatakan, bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan
mempengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini para anggota kelompok,
sedemikian rupa sehingga perilaku tersebut diwujudkan dalam pola tindak orang
yang bersangkutan yang memungkinkannya memberikan yang terbaik pada dirinya
dalam penyelesaian tugas bersama (Siagian, 1998). Definisi tersebut menjelaskan
bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dan ketrampilan yang dapat dipelajari
dan ditumbuh kembangkan; misalnya melalui pendidikan dan latihan. Artinya
kepemimpinan seseorang bukan hanya bisa tumbuh dan berkembang lantaran adanya
bakat dari seseorang yang dibawa sejak lahir tetapi bisa dididik dan dilatih.
Dalam pengertian yang
paling mendasar, Drake (1993) mengemukakan bahwa kepemimpinan positip berada di
barisan paling depan; menggunakan badan, gerakan maju dan ketrampilan
komunikasi anda untuk memberi arahan kepada yang lain, jalan mana yang harus
ditempuh. Selanjutnya dijelaskan bahwa pimpinan perusahaan yang berhasil paling
sedikit memiliki delapan sifat yaitu: (1) kemampuan untuk memusatkan perhatian,
(2) penekanan pada nilai yang sederhana, (3) selalu bergaul dengan orang, (4)
menghindari profesionalisme tiruan, (5) mengelola perubahan, (6) memilih orang,
(7) hindari “mengerjakan semua sendiri”, dan (8) menghadapi kegagalan.
Hasil
penelitian Parko (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positip antara
kepemimpinan dengan produktivitas kerja. Semakin efektif kepemimpinan, semakin
tinggi pula produktivitas kerja karyawan. Produktifitas kerja karyawan dapat
ditingkatkan dengan lebih mengefektifkan kepemimpinan.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan
di atas, dapat disintesiskan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki
oleh seseorang (pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain (bawahan) dalam rangka
untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini kepemimpinan mengandung
unsur-unsur: (1) orang yang mempengaruhi, (2) orang yang dipengaruhi, (3)
adanya tindakan untuk mempengaruhi, (4) adanya maksud dan tujuan. Selanjutnya
berdasarkan sintesis ini, dapat dirumuskan indikator dari kepemimpinan dalam
penelitian ini, yaitu: (1) otorisasi, (2) partisipasi, (3) pengambilan
keputusan, (4) mengorganisasikan, (5) mengarahkan, dan (6) adil dan bijaksana.
3. Hakikat
Kepuasan kerja
Manusia sebagai makhluk pribadi
banyak mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Hal ini
karena tidak mungkin seorang individu memproduksi sendiri kebutuhannya yang
tidak terhitung itu. Sebagian dari kebutuhan-kebutuhan tersebut mungkin bisa
diproduksi oleh orang lain, sehingga manusia perlu berhubungan, kerjasama atau
hidup bermasyarakat dengan yang lain.
Salah satu wujud kegiatan manusia sebagai makhluk sosial adalah bekerja.
Menurut As’ad (1984) yang dimaksud dengan bekerja adalah perbuatan melaksanakan
tugas yang diakhiri dengan hasil kerja yang dapat dinikmati manusia yang
bersangkutan. Bekerja juga merupakan salah satu bentuk proses sosialisasi,
sehingga manusia yang tidak bekerja dapat dianggap tidak sempurna perkembangan
sosialnya. Kegiatan bekerja mengandung unsur kegiatan sosial, menghasilkan
sesuatu, dan pada akhirnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai
individu.
Setiap individu yang masuk ke suatu lingkungan kerja membawa kebutuhan
yang ingin dipenuhinya. Kebutuhan itu kemudian menjadi pendorong baginya untuk
berusaha mencapai tujuan. Salah satu indikator yang menggambarkan bahwa
kebutuhan itu telah terpenuhi adalah munculnya perasaan puas dari aktivitas
pekerjaan yang dilakukannya. Apabila kebutuhan yang diharapkan dari pekerjaan
terpenuhi, karyawan akan merasa puas, dan jika kebutuhan itu tidak terpenuhi ia
akan mengalami ketidakpuasan.
Kajian mengenai kepuasan kerja merupakan salah satu topik yang banyak
dibahas dalam studi mengenai manajemen sumber daya manusia. Studi mengenai
kepuasan kerja tersebut menjadi semakin penting karena para pemimpin atau
manajer menyadari bahwa seorang karyawan tidak hanya menginginkan pemenuhan
kebutuhan yang bersifat ekonomis atau materi semata, tetapi juga kebutuhan yang
bersifat non materi.
Menurut Handoko (1993) kepuasan mempunyai arti yang penting bagi
karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di
lingkungan pekerjaan. Karyawan memiliki keinginan untuk diperhatikan, dihargai atau diberi pujian
untuk hasil karyanya. Hal ini karena karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan
selalu melibatkan aspek fisik dan psikis yang ada pada dirinya. Begitu pula
halnya dengan hasil pekerjaan yang dilakukannya.
Kepuasan kerja, atau lebih khusus, kepuasan seorang karyawan dalam
bekerja, adalah suatu pengertian yang sulit didefinisikan, karena tidak nampak
secara nyata, tetapi dapat berwujud dalam suatu hasil pekerjaan. Oleh karena
itu perlu dikemukakan beberapa teori kepuasan kerja agar diperoleh pemahaman
mengenai kepuasan kerja yang lebih dalam.
As’ad (1984) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya. Sementara itu Schermerhorn (1985) memberikan
pengertian yang lebih spesifik dengan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah
tingkat dimana individu merasakan positif atau negatif mengenai berbagai aspek
pekerjaannya. Definisi ini menunjukkan bahwa ada beberapa aspek yang terdapat
dalam pekerjaan yang dapat memunculkan perasaan puas pada karyawan.
Dalam kerangka itu, Fraser (1982)
berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan bersisi banyak, beberapa
sisi atau aspek pekerjaan lebih memuaskan dibandingkan yang lain. Menurut Luthans (1993) kepuasan kerja sangat
mungkin menunjukkan adanya variasi tingkat kepuasan dari setiap aspek tersebut.
Beberapa aspek pekerjaan yang dimaksud antara lain : (1) upah/gaji (2)
pekerjaan itu sendiri (3) promosi (4) penyeliaan (5) kelompok kerja dan (6)
kondisi kerja.
Menurut Newstrom (1993) kepuasan kerja bersifat dinamis. Artinya
perasaan puas seseorang karyawan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang
dialaminya. Di samping itu menurut Cascio (1991), terdapatnya perbedaan pada
setiap individu juga mengakibatkan adanya perbedaan tingkat kepuasan yang
mereka peroleh. Perbedaan itu ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang
dirasakan dan nilai-nilai yang dianut individu dalam kaitannya dengan
pengalaman yang diperoleh dalam pekerjaan. Makin banyak aspek pekerjaan yang
dapat memenuhi kebutuhan karyawan, makin tinggi pula tingkat kepuasannya.
Sebaliknya semakin sedikit aspek pekerjaan yang dapat memenuhi
kebutuhannya, makin rendah pula tingkat kepuasannya. Kebutuhan yang tidak
terpenuhi akan menimbulkan akibat yang tidak baik terhadap karyawan itu sendiri
maupun terhadap pekerjaan dan lingkungan hidupnya. Perasaan puas akan
memberikan dorongan untuk melakukan lagi pekerjaan yang sama, sedangkan yang
menimbulkan ketidakpuasan cenderung dihindari.
Di samping itu kepuasan kerja menurut Newstrom (1993) dapat pula
menggambarkan sikap secara keseluruhan atau mengacu pada bagian dari pekerjaan
seseorang. Mungkin seseorang karyawan puas dengan penghasilan dan promosi yang
diperolehnya tetapi tidak puas dengan kondisi rekan kerjanya.
Kepuasan kerja tidak hanya merupakan tanggapan karyawan terhadap pekerjaan
pada suatu saat tertentu, tetapi dapat juga berupa tanggapan terhadap
pengalaman kerjanya. Pemikiran semacam itu antara lain dikemukakan oleh Umstot
(1984) yang menyebutkan bahwa kepuasan kerja merujuk pada tingkat perasaan
senang atau tidak senang yang dimiliki terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman
kerja.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas tampak bahwa
penekanan kepuasan kerja terletak pada individu dan wujud dari kepuasan itu
tampak pada sikapnya terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan maupun dari
pengalaman kerja yang telah diperolehnya. Keadaan menyenangkan dapat dicapai
jika sifat dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan
nilai yang dimilikinya. Hal itu sesuai dengan pendapat Werther (1993) yang
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu yang menyenangkan yang
diperlihatkan karyawan terhadap hasil kerjanya.
Menurut Newstrom (1993) kepuasan kerja yang dirasakan seseorang karyawan
tidak bersifat tetap atau permanen, tetapi bersifat relatif. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perasaan puas yang dialami seorang karyawan dapat berubah
sewaktu-waktu dan ini menimbulkan implikasi bahwa upaya menjaga agar karyawan
tetap merasakan kepuasan kerja harus dijaga.
Sementara itu Fraser (1982) menyatakan bahwa individu cenderung
memperkecil ketidak puasan daripada membesar-besarkan kepuasannya. Kepuasan
bukan hanya merupakan suatu bagian tanpa batas, tetapi juga suatu perasaan
pribadi, yang kadang-kadang bertentangan dengan rasa puas kelompok. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena
masing-masing orang berbeda dalam setiap kondisi dari waktu ke waktu.
Pengkajian kepuasan kerja secara teoritis telah banyak dikemukakan oleh
para ahli. Gannon (1979) mengutip George dan Jones yang mengemukakan adanya
tiga teori yang sangat penting dalam pengkajian mengenai kepuasan kerja, yaitu
: (1) teori dua faktor dari Herzberg (2) teori nilai dari Locke dan (3) teori
keadaan tetap tentang kepuasan kerja atau “the steady –state theory of job
satisfaction”. Konsep teori dua faktor dari Herzberg memusatkan pembahasan
pada pertanyaan : apakah kepuasan atau ketidak puasan kerja berasal dari
kondisi yang sama atau seperangkat faktor yang berbeda dari pekerjaan ?
Hezberg (dalam Robbins, 1991)
mengelompokkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dalam dua kelompok
yaitu kelompok hygiene dan motivator. Faktor yang termasuk
kelompok hygiene adalah : kebijakan dan administrasi perusahaan,
hubungan dengan penyelia, kondisi kerja, gaji, hubungan dengan rekan sekerja,
kehidupan pribadi, hubungan dengan bawahan, status dan keamanan. Faktor-faktor
yang termasuk kelompok motivator adalah: prestasi, pengakuan, pekerjaan
itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan dan pertumbuhan. Teori Herzberg
menjelaskan bahwa kepuasan kerja berasal dari kepuasan terhadap kebutuhan yang
lebih tinggi. Demikian pula ketidak puasan berkaitan dengan kondisi yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan yang lebih rendah yaitu kebutuhan sosial dan kebutuhan
fisiologis.
Menurut teori nilai dari Locke (dalam Robbins, 1991), kepuasan kerja
berhubungan dengan hasil pekerjaan individu seperti penghargaan dicocokkan
dengan hasil pekerjaan yang diharapkannya. Makin dekat perbandingan tersebut
yaitu makin banyak orang menerima hasil kerja yang mereka nilai maka makin
tinggi tingkat kepuasan mereka.
Sementara itu the steady-state theory of job satisfaction menyatakan
bahwa setiap karyawan memiliki tipe atau tingkat kepuasan kerja yang disebut the
steady-state atau tingkat persamaan. Teori ini juga mengungkapkan bahwa
kepribadian merupakan salah satu faktor penentu stabilitas kepuasan kerja
setiap waktu.
Greenberg (1993) menyatakan ada dua kelompok faktor yang menyebabkan
pekerja merasa puas, yaitu faktor-faktor yang berasal dari kebijakan organisasi
dan keaslian pekerjaan, serta faktor yang berhubungan dengan ciri-ciri individu
pekerja itu sendiri. Beberapa faktor yang berkaitan dengan kebijakan organisasi
adalah : (1) sistem penghargaan (2) kualitas pengawasan (3) desentralisasi
kekuasaan (4) rangsangan (stimulan) kerja dan sosial (5) kondisi pekerjaan yang
menguntungkan.
Sistem penghargaan merujuk pada besarnya gaji dan promosi yang
diberikan. Berkaitan dengan kualitas pengawasan, kepuasan cenderung tinggi bila
pekerja merasa pengawasnya cakap, memiliki perhatian yang besar dalam benaknya,
serta memperlakukan pekerja secara terhormat dan bermartabat. Sebaliknya
kepuasan cenderung rendah bila mereka menganggap pengawasnya tidak cakap, egois
dan tidak peduli.
Desentralisasi kekuasaan merujuk pada tingkat partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Sementara itu dalam kaitannya dengan rangsangan
(stimulan) kerja dan sosial, karyawan cenderung merasa puas bila diberi beban
pekerjaan yang cukup dan tingkat pekerjaan yang bervariasi, tidak terlalu
rendah atau ringan sehingga menimbulkan kebosanan dan tidak terlalu tinggi atau
berat sehingga berlebihan dan terlalu menantang. Sementara itu faktor kepuasan
yang berhubungan dengan faktor individu antara lain : (1) banyaknya variabel
kerja yang berbeda dihubungkan dengan kepuasan kerja seperti harga diri,
kemampuan menangani ketegangan, dan keyakinan akan mampu mengendalikan faktor
luar dari individu tersebut (2) status dan senioritas (3) kepuasan hidup secara
umum dari individu. Makin banyak kepuasan yang diperoleh dari aspek kehidupan
yang lain,. Mereka cenderung makin puas dengan pekerjaannya.
Menurut
Gannon (1979) terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja
yang dialami individu, yaitu : kepribadian, nilai, situasi kerja, dan pengaruh
sosial. Kepribadian adalah penentu pertama bagaimana individu memikirkan dan
merasakan pekerjaan dan kepuasan kerjanya, apakah positif atau negatif.
Kepribadian seseorang juga membuatnya cenderung memilih jenis pekerjaan
tertentu. Nilai mempunyai dampak pada tingkat kepuasan kerja karena
mencerminkan sikap karyawan tentang hasil yang dikeluarkan dan bagaimana
individu sebaiknya bertingkah laku dalam pekerjaan. Situasi kerja mungkin adalah
sumber kepuasan kerja yang paling penting. Situasi kerja ini mencakup pekerjaan
itu sendiri, kondisi bekerja dan apapun aspek pekerjaan dan organisasi dari
pekerjaan.
Pengaruh sosial adalah penentu kepuasan kerja yang paling akhir. Kelompok dimana individu berada serta budaya
dimana ia tumbuh dan hidup, memiliki potensi mempengaruhi tingkat kepuasan
kerja. Pengaruh sosial dari rekan sekerja dapat menjadi penentu penting dari
kepuasan kerja terutama bagi pekerja baru. Pekerja baru yang dikelilingi rekan
sekerja yang tidak puas cenderung juga menjadi tidak puas, dibandingkan pekerja
baru yang dikelilingi oleh pekerja yang senang dan puas. Tingkat kepuasan juga
dipengaruhi oleh kelompok dimana karyawan itu bertempat tinggal.
Dalam melakukan pekerjaan terdapat beberapa faktor yang dapat
menimbulkan rasa puas karyawan. Teori hirarki kebutuhan dari Maslow menyebutkan
bahwa manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan itu mulai
dari yang bersifat dasar atau fisik yang
kemudian terus bergerak ke tingkat kebutuhan yang paling tinggi yaitu
aktualisasi diri. Menurut Fraser (1982), perasaan puas itu bukan keadaan yang
tetap, karena dapat dipengaruhi dan diubah oleh kekuatan-kekuatan dari dalam
maupun dari luar lingkungan kerja. Oleh karena itu penting para pemimpin atau
manajer membentuk keadaan agar kepuasan kerja karyawannya dapat terus berada
pada tingkat yang tinggi, dengan cara mengenali faktor-faktor yang dapat
memberikan kepuasan kerja.
Sementara itu, Cushway (1995) menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor
nilai intrinsik pada suatu pekerjaan yang dapat membawa kepada kepuasan kerja.
Faktor nilai intrinsik itu adalah : (1) keragaman (2) pengawasan atas pekerjaan
(3) relevansi tugas (4) umpan balik atas hasil, dan (5) pertumbuhan.
Bekerja adalah suatu jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana cara
memenuhi kebutuhan atau kepuasan. Dalam suatu situasi kebutuhan sudah
terpenuhi, penilaian individu tersebut bergeser kepada rasa puas. Kepuasan kerja bersifat individual, dan hasil
pengukuran kepuasan kerja berbeda pada setiap karyawan. Rasa puas dalam bekerja
akan mempengaruhi diri karyawan baik fisik maupun psikis, sehingga dapat
berdampak pada kinerja kerjanya. Tingkat kepuasan kerja karyawan yang rendah
akan menimbulkan suatu situasi yang tidak menguntungkan bagi organisasi maupun
karyawan itu sendiri. Kepuasan kerja yang rendah dapat menimbulkan rasa
frustasi pada karyawan dan pada gilirannya akan memunculkan perilaku agresif,
atau sebaliknya mereka menarik diri dari interaksi dengan lingkungannya.
Bentuk penarikan diri itu misalnya: ingin mengundurkan diri/berhenti,
sering mangkir bekerja dan bentuk perilaku lain yang cenderung menghindar dari
aktivitas organisasi. Sementara itu bentuk perilaku agresif antara lain tampak
pada upaya melakukan sabotase, sengaja berbuat salah atau memperlambat kerja,
menentang atasan, sampai pada tindakan mogok kerja.
Greenberg (1993) mengemukakan bahwa
dampak utama dari kepuasan kerja yaitu: (1) kemangkiran (2) pergantian karyawan
dan (3) penampilan tugas. Karyawan yang membolos atau mangkir dapat
mengakibatkan tertundanya pekerjaan, sehingga perlu diadakan lembur bagi
karyawan lain. Jika kondisi semacam ini terjadi maka perusahaan perlu mengalokasikan
biaya lembur.
Jika seseorang karyawan berhenti, maka hal itu akan mengganggu
kelancaran proses pekerjaan tersebut karena karyawan lain tidak dapat melakukan
pekerjaan tersebut. Akibatnya manajemen harus merekrut karyawan baru untuk
menggantikan posisinya. Organisasi akan mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga
untuk melakukan proses rekrutmen, seleksi dan pelatihan yang diperlukan agar
karyawan yang baru dapat melakukan pekerjaan.
Secara umum makin rendah kepuasan kerja individu, akan makin besar
kemungkinan mereka absen dari pekerjaan, meskipun tingkat hubungannya (derajat
korelasi) bersifat sedang saja. Kepuasan juga dihubungkan secara negatif dengan
keluarnya karyawan (turn over).
Secara umum makin rendah tingkat kepuasan kerja akan makin tinggi
kemungkinan karyawan untuk mengundurkan diri. Tetapi keputusan untuk keluar
juga dipengaruhi beberapa faktor lain seperti : kondisi pasar kerja, harapan
tentang kesempatan kerja alternatif, masa kerja dalam organisasi itu.
Sementara itu Newstrom (1993) menambahkan bahwa satu dampak lain yang
mungkin terjadi bila kepuasan kerja karyawan rendah adalah terjadinya
pencurian. Pencurian ini terjadi karena karyawan putus asa atas perlakuan organisasi
yang dipandang tidak adil. Para karyawan memandang bahwa tindakan itu
dibenarkan sebagai cara membalas perlakuan yang tidak sehat dari atasan atau
penyelianya.
Hasil penelitian Masyhuri (2001)
menunjukkan bahwa secara umum kinerja karyawan akan meningkat jika kepuasan
kerjanya semakin tinggi. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang
bersifat individual. Setiap karyawan memiliki tingkat kepuasan yang
berbeda-beda sesuai dengan sistim nilai yang berlaku pada dirinya, yang
disebabkan adanya perbedaan pada masing-masing karyawan tersebut. Makin banyak
aspek-aspek pekerjaan yang sesuai dengan keinginan karyawan tersebut, maka
semakin tinggi tingkat kepuasan kerja yang dirasakannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditarik sintesis bahwa kepuasan kerja karyawan adalah perasaan karyawan
mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pekerjaannya yang terentang dari
perasaan sangat puas sampai sangat tidak puas.
Aspek pekerjaan tersebut mencakup : pekerjaan yang dilakukannya, rekan
kerja, kepemimpinan atasan, penghasilan, dan peningkatan karir. Selanjutnya
berdasarkan sintesis di atas, dapat disusun indikator kepuasan kerja karyawan,
yang terdiri dari : (1) penugasan (2) rekan kerja (3) kepemimpinan atasan (4)
penghasilan dan (5) peningkatan karir.