Kamis, 01 November 2012

Thesis: The Correlation of Leadership and Job Satisfaction with Employee Performance of PPA Consultants, Medan 2005.



ABSTRACT

The Correlation of Leadership and Job Satisfaction with Employee Performance of PPA Consultants, Medan 2005.

This research is aimed: (i) to find out an obtained positive correlation between leadership and employee performance of PPA, (ii) to find out an obtained positive correlation between job satisfaction and employee performance of PPA, and (iii) to find out an obtained positive correlation between leadership and job satisfaction simultaneously with employee performance of PPA.
Research population were 157 employees, while the sample were 40 employees took from the population. Before the data collecting, the instrument were tried out previously toward 30 person in order to find out teh data validity and reliability.
The data research results were processed with SPSS and MS Excell programs,  then analyzed their normality and linierity were shows: (i) the correlation of leadership and employee performance were normally and linerally distributed with regresion formula of  Ŷ = 57,190 + 0,117X1, (ii) the correlation of job satisfaction and employee performance were normally and linerally distributed with regresion formula of Ŷ = 80,714 - 0,209X1, and (iii) the correlation of leadership and job satisfaction simultaneously with employee performance were normally and linerally distributed with regresion formula of Ŷ =70,859 + 0,151X1-0,221X2.
Based on hypothesis test results, it is found that there were no positive correlation between leadership and employee performance, an obtain the negative significant correlation between job satisfaction and employee performance, and an obtain positive significant coefficient between leadership and job satisfaction simultaneously with employee performance.
Furthermore, based on correlation analysis results found that the correlation coefficient of leadership and employee performance is 0,160 and through t test found that t count = 0,997 <  t table = 1,68. It is mean that leadership has no significant correlation and less contribution toward employee performance. Therefore, the asked hypothesis 1 has no proof and not accepted. While, the correlation coefficient of job satisfaction and employee performance is 0,412 and through t test found that t count = -2,788 > t table = 1,68 (in the reverse side mean). It is mean that job satisfaction has significant correlation and contribution toward employee performance. Therefore, the asked hypothesis 2 has proof and accepted. Meanwhile, from multiple correlation analysis found that correlation coefficient of leadership and job satisfaction simultaneously with employee performance is 0,460 and the value of F count = 4,973 > F table = 3,25. It is mean that leadership and job satisfaction simultaneously has significant correlation and contribution toward employee performance of PPA. Therefore, the asked hypothesis 3 has proof and accepted.
The multiple regresion formula of Ŷ =70,859 + 0,151X1-0,221X2  means that when there is no leadership and job satisfaction then employee performance is 70,859. But, when leadership increase 1 point and job satisfaction decrease 1 point simultaneously, then will be followed the increasment of employee performance of 1 point. Thus, it is concluded that a better leadership and a lower job satisfaction then employee performance will be better.


ABSTRAK

Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan
PPA Consultants, Medan 2005.
Penelitian ini bertujuan: (i) mengetahui terdapatnya hubungan yang positif antara kepemimpinan dan kinerja karyawan PPA, (ii) mengetahui terdapatnya hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan kinerja karyawan PPA, dan (iii) mengetahui terdapatnya hubungan yang positif antara kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama dengan kinerja karyawan PPA.
Populasi penelitian sebanyak 157 karyawan, sampel penelitian diambil sebanyak 40 orang. Sebelum dilakukan pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen terhadap 30 orang sampel ujicoba untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.
Data hasil penelitian diolah dengan program SPSS dan MS Excell, dan setelah dilakukan uji normalitas dan linieritas menunjukkan: (i) Hubungan kepemimpinan dan kinerja karyawan berdistribusi normal dan linier dengan regresi Ŷ = 57,190 + 0,117X1; (ii) Hubungan kepuasan kerja dan kinerja karyawan berdistribusi normal dan linier dengan regresi Ŷ = 80,714 - 0,209X1; dan (iii) Hubungan kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan berdistribusi normal dan linier dengan regresi Ŷ =70,859 + 0,151X1-0,221X2.
            Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan positif antara kepemimpinan dan kinerja karyawan, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan, dan terdapat hubungan positif antara kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan.
            Selanjutnya berdasarkan hasil analisis korelasi ditemukan koefisien korelasi kepemimpinan dengan kinerja karyawan adalah 0,160 dan dengan uji t ditemukan t hit = 0,997 <  t tabel = 1,68. Hal ini memberi arti bahwa kepemimpinan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dan berkontribusi yang tidak berarti terhadap kinerja karyawan. Dengan demikian hipotesis 1 yang diajukan tidak terbukti dan tidak dapat diterima kebenarannya. Sedangkan koefisien korelasi kepuasan kerja dengan kinerja karyawan adalah 0,412 dan dengan uji t ditemukan t hit = -2,788 >  t tabel = 1,68 (dalam artian terbalik). Hal ini memberi arti bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan dan kontribusi yang berarti terhadap kinerja karyawan. Dengan demikian hipotesis 2 yang diajukan terbukti dan diterima kebenarannya. Sementara itu dari analisis korelasi ganda ditemukan koefisien korelasi kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan adalah 0,460 dan nilai Fhit = 4,973 > nilai Ftabel = 3,25. Hal ini memberi arti bahwa kepemimpinan bersama-sama dengan kepuasan kerja memiliki hubungan dan kontribusi yang berarti terhadap kinerja karyawan PPA. Dengan demikian hipotesis 3 yang diajukan terbukti dan diterima kebenarannya.
            Persamaan regresi ganda Ŷ =70,859 + 0,151X1-0,221X2 memberi arti bahwa apabila tidak ada kepemimpinan dan kepuasan kerja maka kinerja karyawan sebesar 70,859. Tetapi apabila kepemimpinan ditingkatkan 1 poin dan kepuasan kerja diturunkan 1 poin secara bersamaan, maka akan diikuti peningkatan kinerja karyawan sebesar 1 poin. Dengan demikian dapat disimpulkan  bahwa semakin baik kepemimpinan dan semakin rendah kepuasan kerja maka kinerja karyawan juga akan semakin baik.
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga Tesis yang berjudul “Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan PPA Consultants, Medan 2005”  ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan.
Penulisan Tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak, semoga bantuan dan dorongan yang telah diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT, amin.
Dengan penuh rasa haru dan hormat Penulis kepada Alm. Ayahanda dan Alm. Ibunda tercinta yang telah melahirkan dan membesarkan serta selalu Penulis do’akan agar mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah SWT. Selanjutnya terima kasih khususnya disampaikan kepada istri tercinta Niswan Lubis, Ananda Qisthi Mahran Harahap, Hilfi Najdi Harahap, Syafiq Hazmin Harahap, dan Mazaya Tsabita Harahap, yang telah dengan penuh kasih sayang, sabar dan setia mendorong Penulis untuk menyusun dan menyelesaikan Tesis ini.
Terima kasih terutama Penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Zainuddin M.Pd selaku Pembimbing I, Bapak Dr. Yusri, M.Pd selaku Pembimbing II, Bapak Dr. Ibnu Hajar Damanik, M.Pd, Bapak Dr. Khairil Ansyari, M.Pd, dan Bapak Dr. Syaiful Sagala, M.Pd masing-masing sebagai pembimbing dan penguji yang telah memberikan bimbingan dan motivasi serta pengujian kepada Penulis.

Tak lupa rasa terima kasih juga Penulis sampaikan kepada:
(1)        Ibunda Prof.Dr.Hj.Djanius Djamin, SH, MS, selaku Rektor Universitas Negeri Medan, Bapak Prof. Dr. Belferik Manullang selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, Bapak Prof.Dr.Ir. Zainuddin, M.Pd selaku Ketua Program Studi Administrasi Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan serta seluruh staf yang telah memberikan fasilitas belajar selama Penulis mengikuti perkuliahan di Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
(2)        Bapak dan Ibu Dosen di Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan yang telah memberi dan membekali Penulis dengan ilmu, pengalaman dan kematangan berfikir untuk penyelesaian Tesis ini.
(3)        Para Pimpinan, Staf dan Karyawan PPA Consultants yang telah membantu secara moril dan materil bahkan menjadi responden penelitian Tesis ini.
(4)        Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan yang telah banyak memberikan bantuan moral dalam penyelesaian perkuliahan dan Tesis ini.
Akhirnya Penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga kita semua senantiasa mendapatkan lindungan, karunia dan rahmatnya, Amin.

Medan,     Juli  2005
Penulis,

  Asrul Masir Harahap


DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT...........................................................................................................              i
ABSTRAK.............................................................................................................            iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................              v
DAFTAR ISI..........................................................................................................           vii
DAFTAR TABEL...................................................................................................            x
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................          xi
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................          xii
BAB     I.  PENDAHULUAN.................................................................................            1
A.    Latar Belakang Masalah ........................................................................           1
B.     Identifikasi Masalah ...............................................................................           5
C.     Pembatasan Masalah...............................................................................           5
D.    Perumusan Masalah ...............................................................................           6
E.     Tujuan Penelitian ...................................................................................           7
F.      Manfaat Penelitian .................................................................................           7
BAB    II.  LANDASAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN
HIPOTESIS............................................................................................           8
A.    Deskripsi Teoritis...................................................................................            8
1.      Hakikat Kinerja Karyawan...............................................................           8
2.      Hakikat Kepemimpinan....................................................................         18
3.      Hakikat Kepuasan Kerja ..................................................................         24
4.      Profil PT. PPA Consultants..............................................................         33
B.     Kerangka Berfikir................................................................................            38
1.   Hubungan Kepemimpinan dengan Kinerja Karyawan..................            38
2.   Hubungan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan.................            39
3.      Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja dengan Kinerja
Karyawan......................................................................................             40
C.     Hipotesis Penelitian ............................................................................            42
BAB    III. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................           43
A.      Jenis Penelitian ...................................................................................            43
B.      Jadwal/Waktu Penelitian .....................................................................           43  
C.      Populasi  dan Sampel...........................................................................           43
1.  Populasi...........................................................................................           43
2.      Sampel.............................................................................................           44
D.      Definisi Operasional.............................................................................           49
E.       Teknik Pengumpulan Data...................................................................           50
F.       Teknik Analisis Data ...........................................................................           54
G.      Hipotesis Statistik.................................................................................           55
BAB   IV.   HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN...................................           56
A.        Deskripsi Data.....................................................................................           56
1.      Kinerja Karyawan...........................................................................           56
2.      Kepemimpinan................................................................................           58
3.   Kepuasan Kerja...............................................................................           59
B.     Pengujian Persyaratan Analisis.............................................................           60
1.      Uji Normalitas.................................................................................           60
2.      Uji Linieritas..................................................................................           61
C.     Pengujian Hipotesis ............................................................................           64
1.   Hubungan Kepemimpinan dengan Kinerja Karyawan..................           64
2.   Hubungan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan..................           65
3.      Hubungan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja dengan Kinerja
Karyawan........................................................................................           66
D.        Temuan Penelitian ..............................................................................           69
E.         Pembahasan Penelitian........................................................................           70
BAB    V.    SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN..........................................          75
A.        Simpulan .............................................................................................          75
B.        Implikasi ..............................................................................................          76
C.        Saran-saran ..........................................................................................          77
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................         79
LAMPIRAN


DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 .  Omset, Biaya dan Profit 10 Tahun Terakhir............................................         33
Tabel 2.   Jumlah dan Penyebaran Personil PPA.....................................................         42
Tabel 3.   Sebaran Populasi Berdasarkan Pendidikan, Prestasi, dan Masa Kerja....         43
Tabel 4.   Hasil Perhitungan Sampel.......................................................................         45
Tabel 5.   Jumlah dan Penyebaran Sampel Uji Coba...............................................        46
Tabel 6.   Jumlah dan Penyebaran Sampel Penelitian ............................................         46
Tabel 7.    Kisi-Kisi Instrumen ................................................................................        49
Tabel 8.    Rencana dan Jadwal Penelitian ...............................................................       54
Tabel 9.    Distribusi Frekuensi Kinerja Karyawan (Y) ...........................................       56
Tabel 10.   Distribusi Frekuensi Kepemimpinan (X1)..............................................       57
Tabel 11.   Distribusi Frekuensi Kepuasan Kerja (X2).............................................       58
Tabel 12.   Ringkasan Hasil Analisis Uji Normalitas Setiap Variabel Penelitian ...        59
Tabel 13.  









DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.    Omset, Biaya dan Profit 10 Tahun Terakhir........................................        34
Gambar 2.    Struktur Organisasi PT. PPA Consultants...........................................        35
Gambar 3.    Hubungan Antara Variabel..................................................................        40
Gambar 4.    Histogram dan Poligon Skor Kinerja...................................................        56
Gambar 5.    Histogram dan Poligon Skor Kepemimpinan .....................................        57
Gambar 6.    Histogram dan Poligon Skor Kepuasan Kerja ....................................        58
Gambar 7.    Gambaran Umum Hubungan Variabel Bebas dan Terikat .................        65





DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Gambar 1.    Omset, Biaya dan Profit 10 Tahun Terakhir........................................        34



Bab I.

PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang Masalah

            Di lingkungan setiap perusahaan berlaku ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan tertentu yang menentukan atau mengatur tingkah laku dan kegiatan orang-orang yang menjadi karyawannya dalam mewujudkan pencapaian tujuan dan target perusahaan. Ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan itu sebahagian bersifat tertulis, berlaku juga kebiasaan-kebiasaan sebagai ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang bersifat tidak tertulis. Kebiasaan-kebiasaan sebagai norma hukum yang tidak tertulis itu, dipatuhi dan dilaksanakan dalam setiap langkah kegiatan personil, baik secara perseorangan maupun kelompok untuk mewujudkan tujuan dan misi perusahaan sebagai satu kesatuan.

            Kepemimpinan dan kepuasan kerja serta hubungannya dengan kinerja karyawan suatu perusahaan pada umumnya terikat dengan ketentuan, peraturan dan kebiasaan sebagaimana tersebut di atas.

            Kinerja karyawan berhubungan erat dengan masalah internal dan masalah eksternal yang mempengaruhinya. Masalah-masalah tersebut secara umum dan utama antara lain adalah human relation, kepemimpinan, komunikasi, disiplin, motivasi, dan kepuasan kerja pihak-pihak yang terlibat dan berinteraksi dalam kegiatan manajemen perusahaan. Di samping itu juga adalah masalah pendukung seperti modal, sarana dan prasarana, dan lain-lain

            Kinerja karyawan merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan, terutama untuk efisiensi, efektivitas dan daya saing perusahaan. Adanya keterbatasan dan tidak meratanya sumberdaya manusia terutama dalam jumlah, skills, dan kualifikasi sering mengakibatkan pendistribusian beban kerja menjadi tidak merata. Disamping itu sistem reward and punishment yang ada seringkali belum bisa secara spesifik mengakomodasi keterbatasan dan ketidakmerataan ini.  Selanjutnya, program pengembangan karyawan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas karyawan, seringkali tidak berjalan dengan baik. Keseluruhan masalah-masalah tersebut berimplikasi terhadap kinerja karyawan secara khusus dan kinerja perusahaan pada umumnya. Tanpa kinerja karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan untuk mempertahankan keberlangsungan dan pengembangan usahanya. Salah satu masalah pokok yang sering dihadapi oleh perusahaan adalah rendahnya kinerja karyawan yang disebabkan antara lain oleh kepuasan kerja karyawan yang rendah dan kepemimpinan sebagai inti dari sebuah manajemen yang tidak efektif dan tidak dinamis.

            PT. PPA Consultants-Jakarta (sebelumnya bernama PT. Pusat Pengembangan Agribisnis, disingkat PPA) adalah salah satu perusahaan jasa konsultan terkemuka di Indonesia yang didirikan dalam rangka ikut berpartisipasi secara aktif menjawab tantangan-tantangan yang nyata khususnya di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia. Pada saat didirikan tahun 1978 di Jakarta, PPA mengemban misi untuk pemberantasan kemiskinan, pengembangan sumberdaya manusia, pengelolaan sumberdaya alam, pencapaian swasembada pangan, merangsang usaha-usaha ekonomi dan kesempatan kerja melalui pembangunan agribisnis, pembangunan yang berkelanjutan, pengembangan daerah pedesaan, dan aktivitas meningkatkan pendapatan masyarakat. Seiring dengan tuntutan globalisasi dan profesionalisme, PPA mengadakan pembaharuan dalam visi dan misinya. Visi PPA saat ini adalah “Ahli dan Terpercaya”. Sedangkan misi PPA adalah meningkatkan kualitas dan daya saing bangsa melalui layanan jasa konsultansi yang efektif, efisien dan berkelanjutan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan dengan lima pilar yakni: (i) inovasi dan kreasi, (ii) ilmu pengetahuan dan teknologi, (iii) kepuasan kerja dan informasi, (iv) SDM yang handal, serta (v) kepuasan klien, yang berlandaskan nilai norma dan etika.

            PPA sebagai salah satu organisasi kerja tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang berlaku, baik berupa peraturan-peraturan tertulis maupun kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis di lingkungannya. Peraturan kepegawaian di PPA seperti halnya pada perusahaan lain di Indonesia memiliki sistem prestasi dan pengembangan karier yang antara lain dengan reward and punishment system. Prestasi dan karier karyawan, terkait erat dengan kepuasan kerja karyawan tersebut. Bertolak dari sistem yang dianut itu, untuk memangku suatu jabatan, di samping persyaratan masa kerja, ditentukan juga oleh prestasi kerja karyawan yang bersangkutan. Dengan demikian karier seseorang akan berkelanjutan secara efektif, bilamana ditunjang oleh prestasi kerjanya yang dinilai positif dan memuaskan oleh pimpinannya. Penilaian itu merupakan tanggung jawab atasan langsung sebagai pimpinan unit kerja masing-masing. Keinginan berprestasi dan berkarir ini masih menjadi masalah di PPA dan hal ini sangat erat hubungannya dengan kinerja karyawan PPA.

            Demikian pula sebaliknya, dalam hal kepemimpinan, setiap pimpinan di lingkungan PPA selalu memerlukan sejumlah personil sebagai pembantunya dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi volume dan beban kerja unit masing-masing. Para pembantunya masih belum memenuhi harapan yang seharusnya terdiri dari personil atau karyawan yang profesional, trampil atau memiliki keahlian dalam bidang tugas masing-masing serta memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Dengan kata lain, pemimpin di PPA masih memerlukan sejumlah personil atau karyawan yang mampu dan selalu terdorong untuk berprestasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya, kepemimpinan PPA masih belum efektif dan dinamis serta optimal mendorong dan mengarahkan karyawan untuk berprestasi dan mimiliki kinerja yang baik.  Kepemimpinan erat hubungannya dengan kinerja karyawan, kepemimpinan yang baik akan menimbulkan kinerja karyawan yang baik pula.

            PPA sebagaimana perseroan terbatas (PT) lainnya yang berorientasi bisnis, menjadikan profit/laba sebagai ukuran utama kinerja perusahaan yang sangat ditentukan oleh kinerja karyawannya. Kinerja karyawan PPA selalu dievaluasi setiap 6 bulan dan melalui RUPS/RUPSLB. Dalam sepuluh tahun belakangan ini (1994 – 2003) kinerja manajemen PPA yang sangat ditentukan oleh kinerja karyawannya mengalami pasang surut dengan kecendrungan menurun. Kinerja karyawan PPA dipengaruhi oleh banyak faktor, baik secara internal maupun eksternal yang antara lain mungkin erat hubungannya dengan masalah kepemimpinan dan kepuasan kerja. Hasil evaluasi yang dilakukan secara rutin menunjukkan bahwa kinerja karyawan PPA yang cenderung menurun antara lain diduga disebabkan oleh kepuasan kerja yang semakin rendah dan kepemimpinan yang semakin tidak efektif dan tidak dinamis.

            Hubungan kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan ini diteliti melalui studi yang dilaksanakan pada PT. PPA Consultants-Jakarta.




B.        Identifikasi Masalah
            Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, permasalahan menyangkut kinerja karyawan yang berhubungan erat dengan efisiensi dan efektifitas dalam mencapai tujuan perusahaan, terkait erat dengan berjalan atau tidaknya fungsi-fungsi manajemen. Kinerja karyawan berhubungan erat dengan masalah internal dan masalah eksternal yang mempengaruhinya. Masalah-masalah tersebut secara umum dan utama antara lain adalah human relation, kepemimpinan, komunikasi, disiplin, motivasi dan kepuasan kerja pihak-pihak yang terlibat dan berinteraksi dalam kegiatan manajemen perusahaan. Di samping itu juga adalah masalah pendukung seperti modal, sarana dan prasarana, dan lain-lain.
Kinerja karyawan PPA yang mencerminkan gambaran dari kinerja manajemen dalam sepuluh tahun belakangan ini (1994 – 2003) mengalami pasang surut dengan kecendrungan menurun yang antara lain diduga disebabkan oleh kepuasan kerja karyawan yang semakin rendah dan kepemimpinan yang semakin tidak efektif dan tidak dinamis.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diidentifikasi pada hubungan kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan PPA Consultants adalah : 
1.      Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan dan kinerja karyawan PPA?.
2.      Apakah terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja karyawan PPA?.
3.      Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan PPA?.

C.                Pembatasan Masalah

      Banyak faktor yang berhubungan erat dengan kinerja karyawan PPA, namun penelitian ini hanya dibatasi pada dua masalah yang dianggap memiliki hubungan yang paling erat yaitu masalah kepemimpinan dan masalah kepuasan kerja.
      Pemilihan kedua masalah tersebut didasarkan kepada dugaan bahwa kepemimpinan dan kepuasan kerja paling positip hubungannya dengan kinerja karyawan jika dibandingkan dengan masalah-masalah lainnya. Dengan kepemimpinan yang tidak efektif dan tidak dinamis, kinerja karyawan akan menjadi tidak baik karena karyawan tidak terdorong untuk memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Rendahnya kepuasan kerja akan mengakibatkan kinerja karyawan semakin rendah, karena rendahnya keinginan karyawan untuk berprestasi dan berkarir. Dengan kepemimpinan yang tidak efektif dan tidak dinamis serta kepuasan kerja karyawan yang rendah, kinerja karyawan akan menjadi tidak baik dan semakin rendah.    

D.        Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas dapat dikemukakan rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.      Apakah terdapat hubungan yang positip antara kepemimpinan dan kinerja karyawan PPA ?.
2.      Apakah terdapat hubungan yang positip antara kepuasan kerja dan kinerja karyawan PPA ?.
3.      Apakah terdapat hubungan yang positip antara kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan PPA ?.


E.        Tujuan Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui terdapatnya hubungan yang positip antara kepemimpinan dan kinerja karyawan PPA.
2.      Mengetahui terdapatnya hubungan yang positip antara kepuasan kerja dan kinerja karyawan PPA.
3.      Mengetahui terdapatnya hubungan yang positip antara kepemimpinan dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan PPA.

F.         Manfaat Penelitian
            Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat tidak saja bagi karyawan PPA dalam usaha peningkatan prestasi kerja yang berkaitan dengan manajemen SDM yang dalam hal ini menyangkut proses rekrutmen, promosi dan mutasi, pendidikan dan pelatihan, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bagi kinerja manajemen PPA secara keseluruhan dalam rangka menunjang pencapaian tujuan, visi dan misinya.
            Di samping itu, hasil studi ini nantinya juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dalam hal meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk peningkatan kinerja, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, dan menjadi rujukan serta bahan kajian bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan.

 


Bab II.

KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERFIKIR
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

 

A.                Deskripsi Teoritis

1.         Hakikat Kinerja Karyawan
            Istilah kinerja dalam bahasa Inggerisnya adalah "performance" dan sering juga disebut dengan unjuk kerja atau prestasi kerja. Menurut The Webster Dictionary arti kata "performance" adalah (1) prestasi, (2) pertunjukan, (3) pelaksanaan tugas. Istilah kinerja yang dikemukakan dalam penelitian ini merupakan padanan atau terjemahan dari kata performance atau job performance. Istilah yang dikemukakan para ahli terdapat dalam berbagai literatur tentang manajemen sumber daya manusia.
            Kinerja menurut Wahjosumirdjo (1999) adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Untuk mendapatkan hasil kerja yang baik, sebagaimana yang diharapkan oleh perusahaan, maka setiap personil harus mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam pelaksanaan tugas-tugas.
            Menurut Withmore (1997), kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang. Lebih lanjut Whithmore menjelaskan mengenai kinerja dan mengelompokkan ke dalam dua kegiatan yaitu: (i) menetapkan standar tertinggi orang itu sendiri yang melampaui apa yang diminta atau diharapkan orang lain, dan (ii) suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan seseorang yang diekspresikan penuh potensi.  Definisi ini tampak masih sangat umum, karena kinerja tidak selalu berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan seorang karyawan. Meskipun demikian secara sederhana dapat dipahami bahwa apapun yang dilakukan oleh seseorang, maka hasilnya dapat disebut sebagai kinerjanya.
            Definisi kinerja yang lebih mengarah pada hasil kerja seorang karyawan dikemukakan Wilson (1990) bahwa kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja dari seorang karyawan. Definisi yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Cascio (1992) bahwa kinerja merujuk pada pencapaian karyawan terhadap tugas-tugas yang diberikan.
            Menurut Schermerhorn (1985), kinerja adalah kuantitas dan kualitas prestasi tugas dari seseorang atau kelompok. Definisi ini menunjukkan bahwa ada ukuran-ukuran tertentu untuk mengetahui derajat kinerja seorang karyawan baik dalam bentuk jumlah hasil pekerjaan atau kuantitas dan mutu atau kualitas pekerjaannya. Seorang karyawan akan dikategorikan memiliki kinerja yang baik apabila kinerjanya sesuai atau lebih tinggi dari standar yang telah ditentukan. Sebaliknya kinerja seorang karyawan dikategorikan buruk jika lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan. Menurut Bowditch (1997), kinerja berkaitan dengan perilaku yang diarahkan kepada misi atau sasaran organisasi. Definisi ini menjelaskan bahwa ukuran kinerja tidak saja pada kuantitas dan kualitas tetapi juga perilaku di tempat kerja secara keseluruhan.
            Kesimpulan semacam ini muncul karena tidak semua hasil kerja karyawan dapat diukur secara kuantitatif. Bagi karyawan yang bekerja sebagai penjual atau pembuat suatu barang/jasa, maka memang sangat mudah bagi pimpinan untuk mengukur kuantitas dan kualitas kinerja dengan melihat jumlah barang/jasa yang terjual dan jumlah barang/jasa yang berhasil diproduksi serta rendahnya barang/jasa yang dikembalikan pembeli atau barang/jasa yang rusak. Tetapi kondisi semacam itu tidak dapat diberlakukan pada karyawan yang melakukan kerja administratif, yang tidak langsung berkaitan dengan produk.
            Sementara itu ada pendapat lain dari Gomes (1995) yang mendefinisikan kinerja sebagai catatan yang diperoleh dari pelaksanaan fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama suatu periode waktu tertentu. Definisi ini menjelaskan hendaknya informasi mengenai kinerja didokumentasikan, sehingga bila kinerja tersebut dikomunikasikan kepada karyawan, mereka akan melihat bahwa hasil tersebut relatif objektif. Di samping itu pemantauan kinerja harus dilakukan secara periodik dalam jangka waktu tertentu sehingga karyawan yang bersangkutan memiliki cukup waktu untuk melakukan perbaikan-perbaikan guna mewujudkan kinerja yang maksimal.
            Berdasarkan beberapa definisi kinerja di atas, tampak bahwa kinerja seorang karyawan menggambarkan hasil dari pekerjaan atau tugas yang diberikan kepadanya yang dibandingkan dengan ukuran atau standar yang telah ditentukan. Oleh karena itu, agar pekerjaan yang dihasilkan atau kinerjanya bernilai tinggi, karyawan tersebut harus memiliki beberapa hal yang dapat mendukung pelaksanaan kerja tersebut. Kesimpulan semacam ini menimbulkan implikasi perlunya pimpinan mengenali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kinerja dari seorang karyawan.
            Wagner (1995) menyebutkan bahwa kinerja merupakan fungsi dari usaha, ketepatan persepsi terhadap peran, dan kemampuan. Pengertian yang hampir serupa dikemukakan oleh Bedeian (1983), kinerja adalah fungsi interaksi dari tiga faktor individual yaitu: kemampuan, motivasi, dan kejelasan peran. Kedua definisi ini menjelaskan bahwa faktor yang diperlukan adalah tingkat usaha dari karyawan yang bersangkutan, persepsi yang tepat terhadap peran yang diberikan kepadanya, serta kemampuannya baik berupa pengetahuan maupun ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan kerja. Di samping itu, kedua definisi tersebut menekankan bahwa yang dapat mempengaruhi tingkat kinerja seorang karyawan adalah faktor yang berasal dari dirinya yaitu kemampuan, motivasi yang dimilikinya, dan pemahamannya terhadap peran yang diberikan.
            Sementara itu, ada ahli lain menyebutkan bahwa kinerja karyawan tidak saja dipengaruhi oleh faktor dari karyawan itu sendiri, tetapi juga oleh kelompok dan lingkungan organisasi tempatnya bekerja. Kesimpulan semacam itu dikemukakan oleh Bowditch (1997), bahwa kinerja merupakan fungsi dari: kemampuan, keterampilan, pemahaman terhadap tugas, kesempatan untuk berkinerja, tingkat upaya dan ketekunan, sumber daya yang dibutuhkan, faktor kelompok, serta faktor organisasi dan lingkungan.
            Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja seorang karyawan yaitu: (1) usaha, (2) motivasi, (3) kemampuan, (5) ketepatan persepsi terhadap peran atau tugas, (6) kesempatan untuk berkinerja, (7) ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan, (8) faktor kelompok, (9) faktor organisasi dan lingkungan seperti gaya kepemimpinan atasan, keamanan tempat kerja dan iklim organisasi.
            Hal penting juga perlu diperhatikan adalah penggunaan kata “fungsi” yang terdapat pada 3 (tiga) definisi kinerja yang dikemukakan Bedeian (1983), Wagner (1995), dan Bowditch (1997) menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau semua faktor tersebut secara langsung akan mempengaruhi kinerja karyawan yang bersangkutan. Di samping itu definisi dan uraian tersebut di atas juga menunjukkan keterkaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang bersangkutan.
            Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas, diperoleh gambaran bahwa kinerja seorang karyawan dapat berubah-ubah berdasarkan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhinya. Pada suatu ketika kinerja karyawan bisa berada pada tingkat yang tinggi, pada saat lain berada dalam taraf normal atau biasa saja, dan pada waktu yang lain dapat juga mengalami penurunan. Hal tersebut sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang mempengaruhi karyawan tersebut. Kendatipun taraf kecakapannya tergolong tinggi dan pengalamannya cukup luas, tetapi bila vitalitas atau kondisi fisiknya sedang kurang baik, maka kinerjanya kurang maksimal.
            Karyawan yang memiliki motivasi kuat dalam melaksanakan tugasnya cenderung memiliki kinerja yang tinggi. Motivasi yang kuat saja tidak cukup, tanpa diimbangi pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan sesuai untuk melakukan kerja.
            Dengan adanya pengetahuan dan keterampilan, memungkinkan karyawan dapat melakukan pekerjaan dengan tepat. Di samping itu faktor persepsi atau pemahaman terhadap perannya juga sangat berpengaruh. Jika seorang karyawan keliru mempersepsi peran yang diberikan kepadanya, maka sangat mungkin kinerja yang ditunjukkan justru bertolak belakang dengan hasil yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.
            Seorang karyawan akan dapat berkinerja baik bila ia memiliki peluang untuk mewujudkan kinerjanya. Karyawan yang memiliki motivasi tinggi, memiliki kemampuan dan keterampilan serta memiliki persepsi yang tepat mengenai suatu pekerjaan, tetapi ia tidak mendapatkan peluang untuk melakukan kerja tersebut maka faktor lain yang telah dimiliki akan menjadi mubazir. Di samping itu, karyawan juga memerlukan sumber daya untuk melakukan pekerjaan.
            Tersedianya sumber daya seperti peralatan kerja yang memadai akan memungkinkan karyawan dapat bekerja secara maksimal. Uraian ini menegaskan kepada pimpinan untuk memperhatikan faktor kesempatan penyediaan fasilitas kerja, agar bawahannya dapat bekerja dengan baik sehingga memperoleh kinerja yang maksimal. Di samping itu pada dasarnya setiap manusia memiliki perbedaan-perbedaan pada tingkat upaya, motivasi, persepsi, kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki. Oleh karena itu kinerja di antara karyawan juga berbeda.
            Salah satu tugas penting pimpinan dalam mengelola sumber daya manusia adalah melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya. Kegiatan tersebut penting dilaksanakan agar pimpinan mendapatkan umpan balik atas upaya karyawan menyangkut pelaksanaan kerja mereka. Dengan demikian mereka dapat dibentuk dan dikembangkan menjadi kelompok-kelompok kerja yang kohesif guna tercapainya tujuan organisasi.
            Menurut Newstrom (1993), penilaian kinerja adalah proses penilaian prestasi karyawan. Sementara itu Stoner (1995) menyatakan bahwa penilaian kinerja adalah membandingkan kinerja seorang karyawan dengan standar atau sasaran yang dikembangkan pada posisi karyawan tersebut. Dalam pendekatan yang serupa Handoko (1993) menyatakan bahwa penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.
            Berdasarkan beberapa definisi di atas, tampak bahwa diperlukan ukuran atau standar tertentu untuk melakukan proses penilaian kinerja. Berdasarkan ukuran atau standar tersebut pimpinan dapat mengetahui bagaimana tingkat kinerja yang dimiliki karyawannya. Penilaian kinerja yang dilakukan haruslah memberikan gambaran yang akurat mengenai kinerja karyawan. Oleh karena itu sistem penilaian yang digunakan harus berhubungan dengan pekerjaan (job related), praktis dan memiliki standar-standar dengan menggunakan berbagai ukuran yang dapat diandalkan (reliable). Pengertian yang terkandung dalam prinsip “berhubungan dengan pekerjaan” (job related) adalah bahwa sistem penilaian dapat digunakan untuk menilai perilaku-perilaku kritis yang mewujudkan keberhasilan perusahaan atau organisasi. Sementara itu yang dimaksud dengan prinsip “praktis” mengandung makna bahwa sistem penilaian dapat dipahami atau dimengerti oleh para penilai dan karyawan yang dinilai. Hal lain yang juga diperlukan adalah adanya standar-standar pelaksanaan kerja (performance standards), sehingga kinerja dapat diukur.
            Penilaian kinerja dilakukan untuk mengetahui kondisi karyawan. Asumsi ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Cascio (1992), bahwa penilaian kinerja adalah uraian sistematis dari pekerjaan yang berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan individu atau kelompok. Definisi ini menjelaskan bahwa dengan menggunakan data penilaian kinerja, pimpinan dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan karyawannya. Kekuatan yang ada harus dipertahankan dan kalau mungkin ditingkatkan, sedangkan kelemahan yang ada ditutupi atau diperbaiki.
            Menurut Newstrom (1993), penilaian kinerja diperlukan untuk: (1) mengalokasikan sumber daya dalam lingkungan yang dinamis, (2) memberikan motivasi dan imbalan kepada karyawan, (3) memberikan umpan balik kepada karyawan tentang hasil kerja mereka, (4) membina hubungan yang baik dalam kelompok, (5) melatih dan mengembangkan karyawan, dan (6) mematuhi peraturan perundang-undangan. Menurut Torrington (1989), penilaian kinerja juga memiliki manfaat bagi karyawan: (1) mempertinggi kemampuan, (2) motivasi, (3) sasaran karir, dan (4) pengembangan karir.
            Uraian di atas menunjukkan bahwa penilaian kinerja penting untuk dilakukan karena begitu besarnya manfaat yang dapat diperoleh baik bagi pihak manajer maupun bagi karyawan. Selain itu penilaian kinerja hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar hasil penilaian benar-benar menunjukkan keadaan yang sebenarnya.
            Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa penilaian kinerja adalah suatu proses. Oleh karena itu agar proses tersebut dapat terlaksana dengan baik, perlu dipahami langkah-langkah yang harus dijalankan dalam melakukan penilaian kinerja. Menurut Dressler (1994) terdapat tiga langkah dalam melakukan penilaian kinerja yaitu: (1) mendefinisikan pekerjaan, (2) menilai kinerja, dan (3) memberikan umpan balik.
            Mendefinisikan pekerjaan mengandung makna tentang adanya upaya memastikan bahwa antara pimpinan dan karyawan sepakat tentang tugas-tugas dan standar dari jabatan yang diemban. Aktivitas menilai kinerja mengandung makna bahwa pimpinan membandingkan kinerja aktual dari karyawan dengan standar-standar dalam definisi jabatan, Sementara itu umpan balik berkaitan dengan adanya dialog antara pimpinan dengan karyawan untuk membahas kinerja yang ada dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja karyawan yang bersangkutan.
            Selanjutnya untuk menjaga agar penilaian kinerja dapat terlaksana secara efektif, Gomes (1995) memberikan beberapa panduan antara lain: (1) sesuaikan kriteria kinerja dengan situasi-situasi pekerjaan, (2) gunakan pendekatan penilaian kinerja yang partisipatif, (3) fokuskan penilaian pada perilaku-perilaku tertentu atau pencapaian tujuan, (4) fokuskan pada pemecahan masalah ketimbang pada judgement, (5) pisahkan diskusi-diskusi mengenai gaji dari penilaian kinerja, dan (6) berikan latihan kepada penilai kinerja.
            Istilah karyawan memiliki makna yang hampir sama dengan istilah pegawai (employee), buruh (labor) atau pekerja, namun sebutan pegawai seringkali dikonotasikan sebagai orang yang bekerja di sektor pemerintahan. Hal tersebut tampak dari penggunaan istilah Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi mereka yang sudah mendapatkan pengangkatan sebagai pegawai tetap. Di samping itu lembaga yang secara nasional mengurusi masalah pegawai negeri disebut Badan Kepegawaian Negara (BKN), sedangkan wadah organisasinya disebut Korps Pegawai Negeri Seluruh Indonesia (KORPRI). Sebutan karyawan seringkali digunakan untuk karyawan swasta, sedangkan wadah organisasinya menggunakan istilah pekerja seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Sementara itu sebutan buruh seringkali dilekatkan pada pekerja-pekerja pabrik tingkat pelaksana atau operator seperti buruh konveksi atau buruh pabrik pabrik rokok.  Organisasi yang menggunakan sebutan buruh antara lain Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI).
            Penggunaan semua sebutan di atas tampaknya melekat pada orang-orang yang bekerja pada suatu lembaga formal seperti pemerintahan atau perusahaan atau melakukan suatu aktivitas yang merupakan bagian dari kegiatan organisasi secara keseluruhan.  Di samping itu ada sebutan lain yang belakangan ini sering digunakan yaitu sumber daya manusia (SDM).  Sedangkan Nawawi (1997) mendefinisikan sumber daya manusia sebagai, "manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja, karyawan atau pegawai)".
            Jika diamati penjelasan di atas, secara mendasar tidak terdapat perbedaan yaitu karyawan adalah orang yang melakukan pekerjaan, dan atas pekerjaan tersebut mereka memperoleh penghasilan berupa gaji ataupun upah.  Di samping itu penjelasan di atas juga menegaskan bahwa karyawan bukan pemilik dari usaha atau perusahaan, meskipun belakangan ini berkembang adalah kepemilikan saham perusahaan oleh kelompok karyawan yang tergabung dalam koperasi karyawan.
            Hasil penelitian Masyhuri (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positip antara pengetahuan manajemen dan kepuasan kerja secara bersama-sama dengan kinerja karyawan. Semakin luas pengetahuan manajemen dan makin tinggi kepuasan kerja, akan semakin tinggi pula kinerja karyawan.
            Peraturan Perusahaan PPA Consultants (2002) menetapkan bahwa evaluasi kinerja karyawan dilakukan secara reguler dua kali dalam setahun atau setiap enam bulan sekali, yang merupakan gabungan hasil evaluasi atasan terhadap bawahan dan evaluasi diri sendiri (self assessment). Indikator yang dievaluasi menyangkut (1) efektifitas implementasi tugas dan kewajiban, (2) pengendalian biaya/keuangan, (3) kreativitas dan keinovatifan, (4) penggunaan wewenang, jabatan, posisi dan tanggung jawab yang diamanahkan, dan (5) komitmen terhadap kerjasama dalam tim.
            Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat disintesiskan bahwa kinerja karyawan adalah hasil kerja yang ditunjukkan karyawan dalam menjalankan tugasnya, yang mencakup ketaatan pada tata tertib di tempat kerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan kerjasama dengan rekan kerja.  Selanjutnya berdasarkan sintesis ini, dapat dirumuskan indikator dari kinerja karyawan dalam penelitian ini, yaitu: (1) ketaatan pada peraturan, (2) tanggung jawab terhadap pekerjaan, (3) kerjasama dengan rekan kerja, (4) kreatifitas dan inovasi, dan (5) pengendalian biaya.
                       


2.         Hakikat Kepemimpinan
Menurut Daft (1988);  “ a leadership is the ability to influence other people toward the attainment of organizational goals”.  “ A leadership is the ability to influence a group toward the achievement of goals” (Robbins, 1991). Kepemimpinan/manajemen berkewajiban menggerakkan dan mengarahkan semua personil atau kelompok agar mewujudkan tujuan organisasi. Sejalan dengan pendapat itu, Nawawi (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah tindakan/perbuatan di antara perseorangan dan kelompok yang menyebabkan, baik orang seorang maupun kelompok bergerak ke arah tujuan tertentu. Kepemimpinan tampak dalam proses dimana seorang pemimpin mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau mengawasi fikiran-fikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain.
Menurut Hicks (1996), seorang manajer memilih bentuk atau corak kepemimpinan untuk maksud penggunaannya agar menghasilkan efektifitas sebagai seorang pimpinan. Pilihan yang benar suatu corak kepemimpinan yang menghubungkan secara tepat dengan motivasi eksternal dapat membimbing kepada pencapaian secara sekaligus baik tujuan individu maupun perusahaan. Dengan suatu corak kepemimpinan atau teknik-teknik motivasi yang tidak tepat, tujuan organisasi dapat terganggu serta para pekerja dapat merasakan kebencian, keagresifan, kegelisahan, serta merasakan ketidakpuasan. Gaya kepemimpinan dari otokrasi, demokrasi dan kebebasan berusaha, kesemuanya itu memberikan keadaan yang menguntungkan dan merugikan. Umumnya manajer menggunakan semua corak ini pada suatu waktu atau lainnya, akan tetapi  kepemimpinan yang demikian sering tersusun, menggolongkan seorang manajer sebagai seorang otokrat, demokrat atau pemimpin yang bebas dalam kegiatannya (liberal).

            Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak masalah-masalah yang dihadapi, baik masalah pribadi maupun masalah sosial yang menyangkut orang banyak. Oleh karena itu diperlukan seorang yang mampu untuk memimpin, membimbing dan sekaligus mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Orang yang mampu untuk memimpin, membimbing dan sekaligus mampu memecahkan masalah disebut pemimpin.

            Dalam kehidupan berorganisasi, pemimpin memegang peranan yang sangat penting, bahkan sangat menentukan dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin dalam melakukan aktivitasnya memerlukan sekelompok orang lain yang disebut bawahan. Merekalah yang dikendalikan, dipengaruhi dan digerakkan agar mau bekerja secara efektif dan efisien sesuai dengan keinginan pemimpin.
            Selain bawahan, pemimpin juga membutuhkan sarana dan prasarana dalam rangka untuk memperlancar tugasnya sebagai pemimpin. Pemimpin juga dituntut untuk membina hubungan baik dan menyenangkan dengan bawahan dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
           Seorang pemimpin yang berhasil adalah seorang pemimpin yang memiliki kemampuan pribadi tertentu, mampu membaca keadaan bawahannya dan lingkungannya. Faktor yang harus diketahui dari bawahannya adalah kematangan mereka, sebab ada kaitannya dengan gaya kepemimpinan. Hal ini dimaksudkan agar pemimpin dapat dengan tepat menerapkan pengaruhnya pada bawahan sehingga pemimpin memperoleh ketaatan yang memadai.
            Keberadaan pemimpin yang efektif dan dinamis dalam struktur organisasi sangat strategis. Karena dengan adanya komitmen yang tinggi dari seorang pemimpin untuk meningkatkan kualitas para bawahannya, maka diharapkan akan meningkat pula kualitas bawahannya. Pemimpin yang efektif dan dinamis akan mampu mengendalikan, mengarahkan dan memotivasi bawahannya ke arah tercapainya kinerja karyawan, seperti yang diharapkan oleh pemimpin dalam suatu organisasi
            Menurut Yukl (1944), agar organisasi dapat berjalan dengan baik, salah satunya unsur yang berperan adalah kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi interpretasi para pengikut terhadap suatu peristiwa, memilih tujuan kelompok atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja, memotivasi para pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan kerja kelompok, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau organisasi. Definisi ini memberikan pengertian yang sangat jelas, bahwa pihak atasan (pemimpin) yang mempengaruhi kegiatan para pengikut melalui proses komunikasi ke arah tindakan mencapai tujuan. Sedangkan Camilla (1974) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh dari tindakan tingkah laku, kepercayaan dan perasaan dari seseorang dalam sebuah sistem sosial dengan orang lain dengan harapan adanya kerjasama dari orang yang sedang dipengaruhi. Selanjutnya Fieldman (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan tingkah laku seorang individu untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas kelompok ke arah pencapaian tujuan (organisasi). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan mengacu kepada tingkah laku seorang pemimpin dalam memberikan bimbingan, arahan kepada para bawahannya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh perilaku dari pemimpin tersebut.
             Perilaku kepemimpinan seorang manajer dipengaruhi oleh motivasi internalnya sejajar dengan perilaku seorang karyawan yang dipengaruhi oleh kepentingan khususnya sendiri, keinginan dan harapannya. Tambahan pula, perilaku seorang manajer akan dipengaruhi oleh latihan dan pengalamannya. Termasuk di antara kekuatan dalam diri manajer yang mempengaruhi corak kepemimpinan yang mana yang akan dipilihnya yaitu (1) sistem penilaiannya, (2) kepercayaannya terhadap bawahannya, (3) kecenderungan kepemimpinannya sendiri, dan (4) perasaan aman dalam suatu situasi yang tidak menentu. Keempat variabel ini akan menempatkan manajer melakukan penilaiannya sendiri meliputi perasaan dalam pengambilan tanggung jawab, pembuatan keputusan dengan yang lain-lainnya dan pada kedudukan yang penting atas kemanfaatan, efisiensi, dan pelaksanaan serta pemenuhan oleh para karyawan itu sendiri. Kepercayaannya terhadap para bawahan tersebut menyangkut kepercayaan yang dimilikinya dalam diri para bawahan serta praduga yang dibuatnya yang menyangkut tabiat/sifat-sifat manusia.
Menurut Stoner (1995) kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok. Ada tiga implikasi penting dari batasan tersebut : (1) kepemimpinan harus melibatkan orang lain – bawahan atau pengikut. Karena kesediaan mereka menerima pengarahan dari pemimpin, anggota kelompok membantu menegaskan status pemimpin dan memungkinkan proses kepemimpinan. Tanpa bawahan, semua sifat-sifat kepemimpinan seorang manajer akan menjadi tidak relevan. (2) Kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggota kelompok. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan beberapa aktivitas anggota kelompok, yang tidak dapat dengan cara yang sama mengarahkan aktivitas pemimpin. Meskipun demikian, anggota kelompok jelas akan mempengaruhi aktivitas tersebut dengan sejumlah cara. (3) Disamping secara sah mampu memberikan bawahan atau pengikutnya; perintah atau pengarahan, pemimpin juga dapat mempengaruhi bawahan dengan berbagai cara lain. Schermerhorn (1985) menyatakan kepemimpinan adalah suatu proses penggunaan kekuatan untuk memperoleh pengaruh antara manusia.
Mengacu kepada pendapat tersebut bahwa kepemimpinan dinyatakan sebagai proses, artinya kepemimpinan itu berlangsung dalam kurun waktu cukup lama yang dimulai dari membuat perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pembimbingan (directing), pengawasan (controlling) dan kembali lagi kepada pembuatan perencanaan untuk kegiatan selanjutnya.
Menurut Hersey (1995) kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan dalam situasi tertentu. Definisi di atas menunjukkan bahwa dalam situasi apapun jika seorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka di situ sedang berlangsung proses kepemimpinan. Setiap saat seorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang itu adalah pemimpin potensial dan orang yang dipengaruhi adalah pengikut potensial. Oleh karena itu posisi seseorang tidak menjadi penghalang apakah orang itu adalah atasan, rekan sejawat, bawahan, kawan, atau sanak keluarga. Menurut teori ini, seorang pemimpin tidak harus menjadi manajer dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan mempengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini para anggota kelompok, sedemikian rupa sehingga perilaku tersebut diwujudkan dalam pola tindak orang yang bersangkutan yang memungkinkannya memberikan yang terbaik pada dirinya dalam penyelesaian tugas bersama (Siagian, 1998). Definisi tersebut menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dan ketrampilan yang dapat dipelajari dan ditumbuh kembangkan; misalnya melalui pendidikan dan latihan. Artinya kepemimpinan seseorang bukan hanya bisa tumbuh dan berkembang lantaran adanya bakat dari seseorang yang dibawa sejak lahir tetapi bisa dididik dan dilatih.
Dalam pengertian yang paling mendasar, Drake (1993) mengemukakan bahwa kepemimpinan positip berada di barisan paling depan; menggunakan badan, gerakan maju dan ketrampilan komunikasi anda untuk memberi arahan kepada yang lain, jalan mana yang harus ditempuh. Selanjutnya dijelaskan bahwa pimpinan perusahaan yang berhasil paling sedikit memiliki delapan sifat yaitu: (1) kemampuan untuk memusatkan perhatian, (2) penekanan pada nilai yang sederhana, (3) selalu bergaul dengan orang, (4) menghindari profesionalisme tiruan, (5) mengelola perubahan, (6) memilih orang, (7) hindari “mengerjakan semua sendiri”, dan (8) menghadapi kegagalan.
Hasil penelitian Parko (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positip antara kepemimpinan dengan produktivitas kerja. Semakin efektif kepemimpinan, semakin tinggi pula produktivitas kerja karyawan. Produktifitas kerja karyawan dapat ditingkatkan dengan lebih mengefektifkan kepemimpinan.
            Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat disintesiskan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang (pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain (bawahan) dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini kepemimpinan mengandung unsur-unsur: (1) orang yang mempengaruhi, (2) orang yang dipengaruhi, (3) adanya tindakan untuk mempengaruhi, (4) adanya maksud dan tujuan. Selanjutnya berdasarkan sintesis ini, dapat dirumuskan indikator dari kepemimpinan dalam penelitian ini, yaitu: (1) otorisasi, (2) partisipasi, (3) pengambilan keputusan, (4) mengorganisasikan, (5) mengarahkan, dan (6) adil dan bijaksana.

3.         Hakikat Kepuasan kerja
            Manusia sebagai makhluk pribadi banyak mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Hal ini karena tidak mungkin seorang individu memproduksi sendiri kebutuhannya yang tidak terhitung itu. Sebagian dari kebutuhan-kebutuhan tersebut mungkin bisa diproduksi oleh orang lain, sehingga manusia perlu berhubungan, kerjasama atau hidup bermasyarakat dengan yang lain.
            Salah satu wujud kegiatan manusia sebagai makhluk sosial adalah bekerja. Menurut As’ad (1984) yang dimaksud dengan bekerja adalah perbuatan melaksanakan tugas yang diakhiri dengan hasil kerja yang dapat dinikmati manusia yang bersangkutan. Bekerja juga merupakan salah satu bentuk proses sosialisasi, sehingga manusia yang tidak bekerja dapat dianggap tidak sempurna perkembangan sosialnya. Kegiatan bekerja mengandung unsur kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu, dan pada akhirnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai individu.
            Setiap individu yang masuk ke suatu lingkungan kerja membawa kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Kebutuhan itu kemudian menjadi pendorong baginya untuk berusaha mencapai tujuan. Salah satu indikator yang menggambarkan bahwa kebutuhan itu telah terpenuhi adalah munculnya perasaan puas dari aktivitas pekerjaan yang dilakukannya. Apabila kebutuhan yang diharapkan dari pekerjaan terpenuhi, karyawan akan merasa puas, dan jika kebutuhan itu tidak terpenuhi ia akan mengalami ketidakpuasan.
            Kajian mengenai kepuasan kerja merupakan salah satu topik yang banyak dibahas dalam studi mengenai manajemen sumber daya manusia. Studi mengenai kepuasan kerja tersebut menjadi semakin penting karena para pemimpin atau manajer menyadari bahwa seorang karyawan tidak hanya menginginkan pemenuhan kebutuhan yang bersifat ekonomis atau materi semata, tetapi juga kebutuhan yang bersifat non materi.
            Menurut Handoko (1993) kepuasan mempunyai arti yang penting bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di lingkungan pekerjaan. Karyawan memiliki keinginan untuk  diperhatikan, dihargai atau diberi pujian untuk hasil karyanya. Hal ini karena karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan selalu melibatkan aspek fisik dan psikis yang ada pada dirinya. Begitu pula halnya dengan hasil pekerjaan yang dilakukannya.
             Kepuasan kerja, atau lebih khusus, kepuasan seorang karyawan dalam bekerja, adalah suatu pengertian yang sulit didefinisikan, karena tidak nampak secara nyata, tetapi dapat berwujud dalam suatu hasil pekerjaan. Oleh karena itu perlu dikemukakan beberapa teori kepuasan kerja agar diperoleh pemahaman mengenai kepuasan kerja yang lebih dalam.
            As’ad (1984) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Sementara itu Schermerhorn (1985) memberikan pengertian yang lebih spesifik dengan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah tingkat dimana individu merasakan positif atau negatif mengenai berbagai aspek pekerjaannya. Definisi ini menunjukkan bahwa ada beberapa aspek yang terdapat dalam pekerjaan yang dapat memunculkan perasaan puas pada karyawan.
            Dalam kerangka itu, Fraser (1982) berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan bersisi banyak, beberapa sisi atau aspek pekerjaan lebih memuaskan dibandingkan yang lain.  Menurut Luthans (1993) kepuasan kerja sangat mungkin menunjukkan adanya variasi tingkat kepuasan dari setiap aspek tersebut. Beberapa aspek pekerjaan yang dimaksud antara lain : (1) upah/gaji (2) pekerjaan itu sendiri (3) promosi (4) penyeliaan (5) kelompok kerja dan (6) kondisi kerja.
            Menurut Newstrom (1993) kepuasan kerja bersifat dinamis. Artinya perasaan puas seseorang karyawan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Di samping itu menurut Cascio (1991), terdapatnya perbedaan pada setiap individu juga mengakibatkan adanya perbedaan tingkat kepuasan yang mereka peroleh. Perbedaan itu ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan dan nilai-nilai yang dianut individu dalam kaitannya dengan pengalaman yang diperoleh dalam pekerjaan. Makin banyak aspek pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan karyawan, makin tinggi pula tingkat kepuasannya.
            Sebaliknya semakin sedikit aspek pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhannya, makin rendah pula tingkat kepuasannya. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menimbulkan akibat yang tidak baik terhadap karyawan itu sendiri maupun terhadap pekerjaan dan lingkungan hidupnya. Perasaan puas akan memberikan dorongan untuk melakukan lagi pekerjaan yang sama, sedangkan yang menimbulkan ketidakpuasan cenderung dihindari.
            Di samping itu kepuasan kerja menurut Newstrom (1993) dapat pula menggambarkan sikap secara keseluruhan atau mengacu pada bagian dari pekerjaan seseorang. Mungkin seseorang karyawan puas dengan penghasilan dan promosi yang diperolehnya tetapi tidak puas dengan kondisi rekan kerjanya.
            Kepuasan kerja tidak hanya merupakan tanggapan karyawan terhadap pekerjaan pada suatu saat tertentu, tetapi dapat juga berupa tanggapan terhadap pengalaman kerjanya. Pemikiran semacam itu antara lain dikemukakan oleh Umstot (1984) yang menyebutkan bahwa kepuasan kerja merujuk pada tingkat perasaan senang atau tidak senang yang dimiliki terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja.
            Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas tampak bahwa penekanan kepuasan kerja terletak pada individu dan wujud dari kepuasan itu tampak pada sikapnya terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan maupun dari pengalaman kerja yang telah diperolehnya. Keadaan menyenangkan dapat dicapai jika sifat dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan nilai yang dimilikinya. Hal itu sesuai dengan pendapat Werther (1993) yang mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu yang menyenangkan yang diperlihatkan karyawan terhadap hasil kerjanya.
            Menurut Newstrom (1993) kepuasan kerja yang dirasakan seseorang karyawan tidak bersifat tetap atau permanen, tetapi bersifat relatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa perasaan puas yang dialami seorang karyawan dapat berubah sewaktu-waktu dan ini menimbulkan implikasi bahwa upaya menjaga agar karyawan tetap merasakan kepuasan kerja harus dijaga.
            Sementara itu Fraser (1982) menyatakan bahwa individu cenderung memperkecil ketidak puasan daripada membesar-besarkan kepuasannya. Kepuasan bukan hanya merupakan suatu bagian tanpa batas, tetapi juga suatu perasaan pribadi, yang kadang-kadang bertentangan dengan rasa puas kelompok.  Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena masing-masing orang berbeda dalam setiap kondisi dari waktu ke waktu.
            Pengkajian kepuasan kerja secara teoritis telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Gannon (1979) mengutip George dan Jones yang mengemukakan adanya tiga teori yang sangat penting dalam pengkajian mengenai kepuasan kerja, yaitu : (1) teori dua faktor dari Herzberg (2) teori nilai dari Locke dan (3) teori keadaan tetap tentang kepuasan kerja atau “the steady –state theory of job satisfaction”. Konsep teori dua faktor dari Herzberg memusatkan pembahasan pada pertanyaan : apakah kepuasan atau ketidak puasan kerja berasal dari kondisi yang sama atau seperangkat faktor yang berbeda dari pekerjaan ?
            Hezberg (dalam Robbins, 1991) mengelompokkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dalam dua kelompok yaitu kelompok hygiene dan motivator. Faktor yang termasuk kelompok hygiene adalah : kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan dengan penyelia, kondisi kerja, gaji, hubungan dengan rekan sekerja, kehidupan pribadi, hubungan dengan bawahan, status dan keamanan. Faktor-faktor yang termasuk kelompok motivator adalah: prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan dan pertumbuhan. Teori Herzberg menjelaskan bahwa kepuasan kerja berasal dari kepuasan terhadap kebutuhan yang lebih tinggi. Demikian pula ketidak puasan berkaitan dengan kondisi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan yang lebih rendah yaitu kebutuhan sosial dan kebutuhan fisiologis.
            Menurut teori nilai dari Locke (dalam Robbins, 1991), kepuasan kerja berhubungan dengan hasil pekerjaan individu seperti penghargaan dicocokkan dengan hasil pekerjaan yang diharapkannya. Makin dekat perbandingan tersebut yaitu makin banyak orang menerima hasil kerja yang mereka nilai maka makin tinggi tingkat kepuasan mereka.
            Sementara itu the steady-state theory of job satisfaction menyatakan bahwa setiap karyawan memiliki tipe atau tingkat kepuasan kerja yang disebut the steady-state atau tingkat persamaan. Teori ini juga mengungkapkan bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor penentu stabilitas kepuasan kerja setiap waktu.
            Greenberg (1993) menyatakan ada dua kelompok faktor yang menyebabkan pekerja merasa puas, yaitu faktor-faktor yang berasal dari kebijakan organisasi dan keaslian pekerjaan, serta faktor yang berhubungan dengan ciri-ciri individu pekerja itu sendiri. Beberapa faktor yang berkaitan dengan kebijakan organisasi adalah : (1) sistem penghargaan (2) kualitas pengawasan (3) desentralisasi kekuasaan (4) rangsangan (stimulan) kerja dan sosial (5) kondisi pekerjaan yang menguntungkan.
            Sistem penghargaan merujuk pada besarnya gaji dan promosi yang diberikan. Berkaitan dengan kualitas pengawasan, kepuasan cenderung tinggi bila pekerja merasa pengawasnya cakap, memiliki perhatian yang besar dalam benaknya, serta memperlakukan pekerja secara terhormat dan bermartabat. Sebaliknya kepuasan cenderung rendah bila mereka menganggap pengawasnya tidak cakap, egois dan tidak peduli.
            Desentralisasi kekuasaan merujuk pada tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara itu dalam kaitannya dengan rangsangan (stimulan) kerja dan sosial, karyawan cenderung merasa puas bila diberi beban pekerjaan yang cukup dan tingkat pekerjaan yang bervariasi, tidak terlalu rendah atau ringan sehingga menimbulkan kebosanan dan tidak terlalu tinggi atau berat sehingga berlebihan dan terlalu menantang. Sementara itu faktor kepuasan yang berhubungan dengan faktor individu antara lain : (1) banyaknya variabel kerja yang berbeda dihubungkan dengan kepuasan kerja seperti harga diri, kemampuan menangani ketegangan, dan keyakinan akan mampu mengendalikan faktor luar dari individu tersebut (2) status dan senioritas (3) kepuasan hidup secara umum dari individu. Makin banyak kepuasan yang diperoleh dari aspek kehidupan yang lain,. Mereka cenderung makin puas dengan pekerjaannya.
            Menurut Gannon (1979) terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja yang dialami individu, yaitu : kepribadian, nilai, situasi kerja, dan pengaruh sosial. Kepribadian adalah penentu pertama bagaimana individu memikirkan dan merasakan pekerjaan dan kepuasan kerjanya, apakah positif atau negatif. Kepribadian seseorang juga membuatnya cenderung memilih jenis pekerjaan tertentu. Nilai mempunyai dampak pada tingkat kepuasan kerja karena mencerminkan sikap karyawan tentang hasil yang dikeluarkan dan bagaimana individu sebaiknya bertingkah laku dalam pekerjaan. Situasi kerja mungkin adalah sumber kepuasan kerja yang paling penting. Situasi kerja ini mencakup pekerjaan itu sendiri, kondisi bekerja dan apapun aspek pekerjaan dan organisasi dari pekerjaan.
            Pengaruh sosial adalah penentu kepuasan kerja yang paling akhir.  Kelompok dimana individu berada serta budaya dimana ia tumbuh dan hidup, memiliki potensi mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Pengaruh sosial dari rekan sekerja dapat menjadi penentu penting dari kepuasan kerja terutama bagi pekerja baru. Pekerja baru yang dikelilingi rekan sekerja yang tidak puas cenderung juga menjadi tidak puas, dibandingkan pekerja baru yang dikelilingi oleh pekerja yang senang dan puas. Tingkat kepuasan juga dipengaruhi oleh kelompok dimana karyawan itu bertempat tinggal.
            Dalam melakukan pekerjaan terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan rasa puas karyawan. Teori hirarki kebutuhan dari Maslow menyebutkan bahwa manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan itu mulai dari yang bersifat  dasar atau fisik yang kemudian terus bergerak ke tingkat kebutuhan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Menurut Fraser (1982), perasaan puas itu bukan keadaan yang tetap, karena dapat dipengaruhi dan diubah oleh kekuatan-kekuatan dari dalam maupun dari luar lingkungan kerja. Oleh karena itu penting para pemimpin atau manajer membentuk keadaan agar kepuasan kerja karyawannya dapat terus berada pada tingkat yang tinggi, dengan cara mengenali faktor-faktor yang dapat memberikan kepuasan kerja.
            Sementara itu, Cushway (1995) menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor nilai intrinsik pada suatu pekerjaan yang dapat membawa kepada kepuasan kerja. Faktor nilai intrinsik itu adalah : (1) keragaman (2) pengawasan atas pekerjaan (3) relevansi tugas (4) umpan balik atas hasil, dan (5) pertumbuhan.
            Bekerja adalah suatu jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan atau kepuasan. Dalam suatu situasi kebutuhan sudah terpenuhi, penilaian individu tersebut bergeser kepada rasa puas.  Kepuasan kerja bersifat individual, dan hasil pengukuran kepuasan kerja berbeda pada setiap karyawan. Rasa puas dalam bekerja akan mempengaruhi diri karyawan baik fisik maupun psikis, sehingga dapat berdampak pada kinerja kerjanya. Tingkat kepuasan kerja karyawan yang rendah akan menimbulkan suatu situasi yang tidak menguntungkan bagi organisasi maupun karyawan itu sendiri. Kepuasan kerja yang rendah dapat menimbulkan rasa frustasi pada karyawan dan pada gilirannya akan memunculkan perilaku agresif, atau sebaliknya mereka menarik diri dari interaksi dengan lingkungannya.
            Bentuk penarikan diri itu misalnya: ingin mengundurkan diri/berhenti, sering mangkir bekerja dan bentuk perilaku lain yang cenderung menghindar dari aktivitas organisasi. Sementara itu bentuk perilaku agresif antara lain tampak pada upaya melakukan sabotase, sengaja berbuat salah atau memperlambat kerja, menentang atasan, sampai pada tindakan mogok kerja.
            Greenberg (1993) mengemukakan bahwa dampak utama dari kepuasan kerja yaitu: (1) kemangkiran (2) pergantian karyawan dan (3) penampilan tugas. Karyawan yang membolos atau mangkir dapat mengakibatkan tertundanya pekerjaan, sehingga perlu diadakan lembur bagi karyawan lain. Jika kondisi semacam ini terjadi maka perusahaan perlu mengalokasikan biaya lembur.
            Jika seseorang karyawan berhenti, maka hal itu akan mengganggu kelancaran proses pekerjaan tersebut karena karyawan lain tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut. Akibatnya manajemen harus merekrut karyawan baru untuk menggantikan posisinya. Organisasi akan mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga untuk melakukan proses rekrutmen, seleksi dan pelatihan yang diperlukan agar karyawan yang baru dapat melakukan pekerjaan.
            Secara umum makin rendah kepuasan kerja individu, akan makin besar kemungkinan mereka absen dari pekerjaan, meskipun tingkat hubungannya (derajat korelasi) bersifat sedang saja. Kepuasan juga dihubungkan secara negatif dengan keluarnya karyawan (turn over).  Secara umum makin rendah tingkat kepuasan kerja akan makin tinggi kemungkinan karyawan untuk mengundurkan diri. Tetapi keputusan untuk keluar juga dipengaruhi beberapa faktor lain seperti : kondisi pasar kerja, harapan tentang kesempatan kerja alternatif, masa kerja dalam organisasi itu.
            Sementara itu Newstrom (1993) menambahkan bahwa satu dampak lain yang mungkin terjadi bila kepuasan kerja karyawan rendah adalah terjadinya pencurian. Pencurian ini terjadi karena karyawan putus asa atas perlakuan organisasi yang dipandang tidak adil. Para karyawan memandang bahwa tindakan itu dibenarkan sebagai cara membalas perlakuan yang tidak sehat dari atasan atau penyelianya.
            Hasil penelitian Masyhuri (2001) menunjukkan bahwa secara umum kinerja karyawan akan meningkat jika kepuasan kerjanya semakin tinggi. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap karyawan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistim nilai yang berlaku pada dirinya, yang disebabkan adanya perbedaan pada masing-masing karyawan tersebut. Makin banyak aspek-aspek pekerjaan yang sesuai dengan keinginan karyawan tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja yang dirasakannya. 
            Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik sintesis bahwa kepuasan kerja karyawan adalah perasaan karyawan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pekerjaannya yang terentang dari perasaan sangat puas sampai sangat tidak puas.  Aspek pekerjaan tersebut mencakup : pekerjaan yang dilakukannya, rekan kerja, kepemimpinan atasan, penghasilan, dan peningkatan karir. Selanjutnya berdasarkan sintesis di atas, dapat disusun indikator kepuasan kerja karyawan, yang terdiri dari : (1) penugasan (2) rekan kerja (3) kepemimpinan atasan (4) penghasilan dan (5) peningkatan karir.