MEMBANGUN POLA FIKIR
PETANI-NELAYAN MASA
DEPAN
Oleh: Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz *)
Ir. A.M. Harahap **)
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya petani dan nelayan
masih menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia yang oleh karena itu tetap
harus menjadi sasaran utama program pembangunan nasional. Disisi lain petani
dan nelayan oleh karena jumlah dan potensinya itu seharusnya memberikan
kontribusi yang besar pula bagi pembangunan nasional. Fenomena dan
masalah-masalah yang terjadi di seputar kehidupan petani-nelayan akhir-akhir
ini, memperlihatkan bahwa dunia petani dan nelayan penuh dengan dinamika dan
senantiasa berubah-ubah sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman, dan hal ini
sangat terkait erat dengan pola fikir petani-nelayan itu sendiri. Fenomena yang
paling umum dari kehidupan petani-nelayan adalah pada umumnya taraf
kesejahteraan mereka baik secara individu maupun komunal, masih relatif rendah
jika dibandingkan dengan individu atau kelompok masyarakat lainnya, dan hal ini
menjadi tantangan bagi pembangunan. Potret desa nelayan pada umumnya adalah
gambaran kemiskinan dan kekumuhan. Sementara masalah umum yang dihadapi mereka
adalah produktivitas dan pendapatan yang rendah, yang disebabkan oleh
faktor-faktor internal mereka sendiri seperti lahan yang semakin
termarjinalisasi, pendidikan, penguasaan teknologi dan lain-lain, maupun
faktor-faktor dari luar seperti pemasaran, permodalan dll.
Di Sumut, petani dan nelayan dalam konstelasi
otonomi daerah merupakan pelaku pembangunan daerah yang sangat penting
mengingat jumlah mereka 53,73% dari penduduk Sumut (BPS, 1999). Kontribusi
mereka dalam pembangunan daerah diwujudkan melalui peranannya baik dalam
penyediaan hasil-hasil produksi bahan pangan dan industri maupun dalam
peranannya sebagai konsumen produk-produk industri. Upaya-upaya pembangunan
daerah Sumut dalam meningkatkan produksi dan pendapatan daerah, sekaligus harus
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani-nelayan.
Pendapatan yang cukup besar, akan memungkinkan mereka dan keluarganya mendapatkan
pendidikan yang baik dan makanan yang bergizi sehingga lebih lanjut akan
meningkatkan produktifitasnya, suatu hal yang sangat diperlukan dalam
meningkatkan daya saing petani-nelayan itu sendiri.
Peningkatan produktifitas dan pendapatan
petani-nelayan dilakukan oleh Pemerintah melalui program-program intensifikasi,
diversifikasi, dan rehabilitasi serta peningkatan nilai tambah dari produk yang
dihasilkan. Berbagai kebijaksanaan telah dikeluarkan untuk mendorong program
ini seperti kredit murah, pembangunan dan perbaikan sarana pengairan,
penyediaan sarana produksi ditingkat produksi dan lain-lain. Program-program
ini pada hakekatnya adalah subsidi, yang berarti pengalihan sumberdaya nasional
yang dapat digunakan untuk keperluan pembangunan sektor lain kepada
petani-nelayan. Oleh karenanya ketidak berhasilan program-program tersebut
tidak hanya merugikan petani-nelayan tetapi juga merugikan kelompok masyarakat
lainnya.
Bagi petani-nelayan, adanya program-program
bersubsidi ini merupakan kesempatan besar, yang mungkin akan terasa mahal pada
saat yang akan datang. Pada saat inipun subsidi sudah sangat dikurangi. Bunga
kredit untuk usahatani sudah semakin meningkat, air irigasi harus membayar,
subsidi pupuk dikurangi dan lain-lain. Petani-nelayan dihadapkan pada
tantangan-tantangan baru sehingga perlu pola pemikiran yang baru pula untuk
menghadapinya.
Petani-Nelayan
Subsisten dan Komersil
Berdasarkan pola fikirnya, petani dibedakan menjadi
petani-nelayan subsisten dan komersil. Diantara kedua tipe petani-nelayan ini
terdapat tipe peralihan, yaitu petani-nelayan yang berada pada tahap peralihan
dari subsisten ke komersial.
Cara pandang kedua
golongan petani-nelayan ini terhadap unit usahataninya sangat berbeda.
Petani-nelayan subsisten melihat unit
usahataninya sebagai tempat produksi yang akan menghasilkan pangan untuk
kebutuhan mereka dan keluarganya sehari-hari, sedangkan petani-nelayan komersil
melihat unit usahataninya sebagai usaha unit usaha bisnis, yang harus
mendatangkan keuntungan setinggi-tingginya, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan
pangannya tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lain seperti pendidikan, rekreasi
serta investasi lebih lanjut. Apabila petani-nelayan subsisten tidak banyak
memperhatikan faktor-faktor diluar dirinya, maka sebaliknya petani-nelayan
komersil selalu memperhatikan dan bertindak untuk merespon perubahan-perubahan
yang terjadi, karena tingkat keuntungan usahataninya sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan
yang ada.
Petani-nelayan subsisten
tidak membutuhkan modal besar, sehingga cukup dipenuhi dari usaha sebelumnya,
sedangkan pada petani-nelayan komersil modal yang dibutuhkan cukup besar karena
usahanya terus berkembang tidak saja dibidang produksi tetapi juga pada
penyewaan alat-alat dan prosesing hasil serta pemasaran.
Lembaga-lembaga
penunjang kegiatan petani-nelayan seperti lembaga perkreditan dan pemasaran
tidak begitu dibutuhkan pada kelompok petani subsisten, sedangkan pada kelompok
petani-nelayan komersil, lembaga-lembaga ini eksistensinya sangat diperlukan
karena tanpa lembaga-lembaga ini posisi petani dalam bidang pemasaran akan
lemah yang berakibat pada rendahnya
harga penjualan. Lembaga kredit dibutuhkan kecuali sebagai sumber dana untuk
membiayai usahatani juga dibutuhkan untuk menyimpan surplus yang diperoleh.
Perubahan Pola Fikir Petani-Nelayan
Penelitian tentang
perubahan pola fikir petani-nelayan Sumut belum banyak dilakukan baik
dilembaga-lembaga Penelitian maupun Universitas, namun beberapa data penelitan
di daerah lain secara tidak langsung dapat memberikan indikator telah
terjadinya perubahan pola pemikiran petani-nelayan sejak program-program pembangunan dijalankan.
Indikator perubahan pola pikir petani-nelayan tersebut; Pertama, perubahan penggunaan bibit
unggul dan pupuk. Penggunaan varietas padi unggul di Indonesia di mulai sejak tahun
1968. Sebelumnya, petani menanam varietas lokal dan unggul nasional (Sigadis, Remaja, Jelita, Dewi Dara, Shinta,
dan Bengawan). Penggunaan varietas unggul baru PB/IR meluas dari tahun ke
tahun. Kalau pada tahun 1970/1971 penggunaan varietas PB/IR baru mencapai
sekitar 25% maka pada tahun 1980/1981 sampai sekarang sudah hampir 100%.
Bersamaan dengan penggunaan bibit unggul tersebut, tingkat penggunaan pupuk
juga meningkat. Perubahan selama 10 tahun (1970/1971 sampai dengan 1980/1981)
penggunaan pupuk ini telah meningkat sekitar 145 %. Hanya saja karena semakin
tingginya harga pupuk akhir-akhir ini mengakibatkan penggunaan pupuk sebagai
salah satu faktor produksi yang utama cenderung menurun karena tidak/kurang sebanding
dengan hasil usahatani yang dicapai. Kedua,
perubahan penggunaan alat-alat
pertanian/perikanan. Perubahan penggunaan alat-alat pertanian terjadi baik
pada usaha pertanian tanaman pangan maupun pada perikanan. Pada perusahan perikanan laut, pemakaian
motor tempel naik sekitar 20 % per tahun, dan kapal motor naik sekitar 10 % per
tahun. Peningkatan ini lebih tinggi dari peningkatan perahu tanpa motor yang
hanya bertambah 1 % per tahun. Perubahan penggunaan alat-alat pertanian pada
tanaman pangan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya penggunaan alat-alat
pertanian seperti Traktor, Hand Sprayer dan Perontok Padi. Penggunaan Traktor,
naik sekitar 15% pertahun, Hand sprayer naik sekitar 15% pertahun dan Perontok
Padi naik sekitar 20%/tahun. Peralihan penggunaan alat-alat pertanian ini
didasari oleh pemikiran-pemikiran rasional untuk meningkatkan keuntungan.
Sebagai ilustrasi yang cukup baik adalah penggunaan traktor untuk pengolahan
tanah. Dalam pengolahan tanah, terjadi pergeseran penggunaan tenaga manusia dan
ternak dengan traktor. Pergeseran ini terjadi karena adanya peningkatan upah
riil baik untuk tenaga manusia maupun ternak. Selain lebih murah penggunaan
traktor juga lebih cepat . Disalah satu desa penelitian, pengolahan dengan
memakai traktor per ha sampai siap tanam memerlukan waktu 22 jam kerja, dengan
ternak 73 jam, dengan tenaga manusia 206 jam kerja. Biaya yang dikeluarkan
untuk pengolahan lahan per ha pada musim tanam tahun 2000/2001 adalah Rp
250.000,- jika menggunakan traktor, Rp 300.000,- dengan ternak dan Rp 290.000,-
apabila dengan tenaga manusia. Ketiga,
perubahan penggunaan modal kredit. Perkembangan penggunaan kredit dapat diketahui dari
peningkatan jumlah kredit yang di berikan oleh Lembaga-lembaga Perkreditan yang
beroperasi di pedesaan, seperti Bank
Desa, Lumbung Desa dan Pegadaian Negara.
Tingkatan pertumbuhan rata-rata kredit dari yang di berikan oleh Bank Desa
adalah sekitar 7%, Lumbung Desa sekitar 54 % dan Pegadaian Negara sekitar 12%. Angka-angka ini menunjukkan bahwa masyarakat
pedesaan telah membutuhkan modal kredit untuk menjalankan usahanya. Namun pertumbuhan
ini masih relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan perkreditan sektor
perkotaan seperti perindustrian dan perdagangan yang tumbuh sekitar 35% dan 25%
pada kurun waktu yang sama. Pertumbuhan kredit pada Lumbung Desa cukup besar,
tetapi kalau dilihat volume kreditnya adalah yang paling kecil sehingga tidak
menjadi ukuran untuk menilai perkembangan perkreditan di pedesaan. Data
Penyaluran kredit Bimas bahkan menunjukan tidak berkembangnya jumlah petani
yang menjadi debitur. Pada tahun 1970/1971 jumlah debitur 1,3 juta sedangkan
pada tahun 1980/1981 jumlah debitur 1,1 juta petani, walaupun nilainya
bertambah dari 8,5 milyard menjadi 35,9 milyard rupiah. Sedangkan ketidakberhasilan
dan macetnya program KUT untuk usaha pertanian yang sering dibicarakan
akhir-akhir ini disamping banyak disebabkan oleh faktor mis-manajemen dan
penyelewengan, juga secara teknis usaha pertanian pada umumnya untuk menikmati
hasil panen diperlukan waktu yang cukup lama, yakni minimum tiga bulan. Selanjutnya
karena kebutuhan modal pulalah pemerintah masih meluncurkan program bantuan
permodalan bagi petani seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Keempat, perkembangan kelembagaan. Lembaga-lembaga yang
dibentuk oleh petani untuk memenuhi kebutuhannya adalah kelompok tani, KUD dan
Lumbung Desa. Kelompok tani merupakan wadah untuk meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan tehnis, KUD untuk wadah ekonomi dan Lumbung desa merupakan lembaga
perkreditan yang melayani pinjaman dalam bentuk padi atau uang pada masyarakat
pedesaan. Perkembangan jumlah Lumbung Desa ternyata hanya tumbuh sekitar 0,5%.
Mungkin ada anggapan pertumbuhan yang kecil ini disebabkan karena perannya
sudah digantikan oleh lembaga-lembaga lain, tetapi kalau data ini dihubungkan
dengan peran KUD yang belum begitu nyata ditengah-tengah masyarakat desa,
menunjukkan bahwa petani memang masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan
kelembagaannya.
Tantangan Masa Depan Yang Dihadapi Petani-Nelayan
Beberapa tantangan yang dihadapi oleh petani pada masa yang akan datang,
baik yang berasal dari Perubahan Kebijaksanaan Pemerintah, Perubahan Selera
Konsumen, maupun karena adanya Perkembangan penduduk adalah : pertama, naiknya bunga kredit. Bunga
kredit untuk kredit usahatani telah naik dari 12% pertahun menjadi 17%
pertahun. Kenaikan ini berarti akan meningkatkan biaya usahatani. Kenaikan
kredit untuk investasi besar, sangat menghambat investasi di bidang pertanian
dan agro-industri. Kedua, naiknya
harga pupuk dan iuran pemakai air. Seperti halnya kredit, subsidi terhadap
pupuk dan pemakaian air irigasi juga akan cenderung dikurangi karena semakin
besar subsidi yang diberikan akan semakin memberatkan keuangan pemerintah,
apalagi pemerintah saat ini memiliki kesepakatan dengan IMF untuk mengurangi
dan menghentikan segala bentuk subsidi. Pembebanan iuran air kepada petani
merupakan pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada petani. Dengan demikian
air tidak lagi menjadi faktor produksi yang bisa didapat secara gratis, tetapi
menjadi faktor produksi yang harus dibayar sehingga harus efisien penggunaannya. Ketiga, makin sempitnya lahan pertanian. Pertambahan penduduk yang
tinggi, menyebabkan pemilikan tanah per keluarga semakin sempit yang lebih lanjut berakibat
pada menyempitnya kesempatan kerja disektor produksi. Sempitnya kesempatan
kerja ini juga karena makin terdesaknya peran tenaga kerja buruhtani oleh
tenaga mekanis. Keempat, rendahnya harga komoditas pertanian.
Rendahnya hasil produksi petani diakibatkan oleh belum baiknya sarana
transportasi dan besarnya margin harga. Semakin besar margin harga berarti
semakin besar bagian yang diterima oleh pedagang (dan biaya tataniaga lainnya)
dari harga yang dibayar oleh konsumen untuk mendapatkan produk tersebut.
Besarnya margin ini juga menunjukan lemahnya posisi petani dalam transaksi dan
atau dalam penentuan harga oleh pemerintah. Rendahnya harga ini kemudian
menyebabkan nilai tukar produk pertanian terhadap barang-barang hasil industri menurun,
yang berarti secara relatif menurunkan pendapat petani. Kelima, adanya persaingan dengan produk impor. Sebagai
konsekuensi masuknya Indonesia kepasar global, untuk mengekspor hasil-hasil
pertanian dan industri, kita juga harus membuka pasaran domestik terhadap
masuknya produk-produk pertanian. Dengan demikian produk petani harus bersaing
dengan produk impor baik untuk pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Keenam, tuntutan mutu dari konsumen. Meningkatnya taraf
hidup penduduk menimbulkan tuntutan yang
meningkat terhadap kualitas produk pertanian/perikanan. Konsumen
Perkotaan terutama golongan masyarakat mampu menginginkan produk-produk yang
bersih, dan bebas penyakit. Demikian pula untuk masuk kepasar ekspor, ada
standar-standar mutu yang harus di penuhi.
Pola Fikir Petani-Nelayan Masa Depan
Perubahan pola pikir
yang perlu dilakukan adalah untuk
menjawab tantangan yang akan dihadapi oleh petani-nelayan pada masa depan. Perubahan tampaknya sudah terjadi, terbukti
dengan diadopsinya teknologi baru dan dipakainya alat-alat pertanian/perikanan
yang lebih modern dalam kegiatan usaha mereka. Namun demikian perkembangan
kelembagaan petani-nelayan masih belum tampak memuaskan, padahal tantangan masa
datang banyak masalah yang harus dijawab oleh petani-nelayan secara
bersama-sama dalam kelembagaan yang
kuat.
Pola pemikiran petani-nelayan
harus lebih integral dalam memandang usahanya yang terkait erat dengan
prosesing dan pemasaran karena banyak tantangan yang akan dihadapi oleh petani-nelayan
dari segi pemasaran ini. Sedangkan
tantangan makin mahalnya
harga-harga input karena berbagai
subsidi dicabut dapat diatasi dengan pemilihan komoditi yang paling
mengguntungkan.
Dengan demikian pola pikir yang diperlukan harus mengandung
unsur-unsur : pertama, efisien
di dalam menggunakan input produksi. Input produksi yang seperti tanah, pupuk,
obat-obatan, peralatan, modal dan air nilainya semakin mahal, sehingga input
ini harus digunakan secara efisien yang berarti penggunaan input yang sama
harus menghasilkan produk yang nilainya paling tinggi. Kepekaan terhadap
harga-harga input dan produk menjadi sangat penting karena harga-harga ini akan
langsung berkaitan dengan keuntungan yang dihasilkan. Sikap rasional dan mau
menerapkan teknologi baru yang sudah ditunjukan sebelumnya, perlu dipertajam
dengan kepekaan pada harga. Kedua,
dalam produksi berorientasi pada pasar/konsumen. Pada komoditas-komoditas yang
sebagian atau seluruhnya akan dijual, petani-nelayan harus betul-betul
memperhatikan selera dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. Dengan
demikian produk akan laku dan petani-nelayan mendapatkan harga yang tinggi,
sehingga keuntungan yang diperoleh tinggi pula. Ketiga, menciptakan nilai tambah. Pola pemikiran yang perlu
dirubah adalah pemikiran bahwa kegiatan
petani-nelayan adalah di bidang produksi
saja. Sempitnya lapangan kerja di sektor
produksi harus diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja baru di bidang industri khususnya industri pedesaan yang mengolah hasil
produksi pertanian/perikanan. Keempat,
mengembangkan
kelembagaan. Pertanian/perikanan mempunyai
kepentingan-kepentingan bersama dalam hal permodalan, ketersediaan input di
lokasi, harga input dan produk yang wajar, dan pemasaran. Kepentingan bersama
ini lebih efisien dan efektif bila dilakukan secara bersama. Kelembagaan yang
kokoh juga akan meningkatkan kekuatan tawar-menawar (bargaining position) petani-nelayan. Kelima, pemupukan tabungan dan penanaman kepercayaan. Untuk
mengembangkan usaha lebih lanjut baik di produksi maupun industri pedesaan
petani-nelayan memerlukan modal dan atau partner usaha. Modal dan partner usaha
ini akan diperoleh dengan pemupukan modal dari surplus usahanya dan adanya
kepercayaan. Kredit juga baru bisa di dapat kalau Bank sudah percaya terhadap
prospek usaha dan peminjamnya.
Penutup
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani-nelayan
merupakan kegiatan yang harus terus menerus dilakukan oleh seluruh pihak
terutama petani-nelayan itu sendiri, karena petani-nelayan merupakan komponen
masyarakat yang relatif bahkan terbesar di negara ini. Yang terpenting dalam
keseluruhan upaya-upaya tersebut adalah bagaimana pola fikir petani-nelayan
senantiasa terus berubah dan berkembang sesuai dengan tantangan-tantangan yang
dihadapinya.
Dalam membangun pola fikir petani-nelayan di masa
depan
_______
*) Direktur
Utama Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA Consultants)
**) Direktur
PPA Consultants Cabang Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar