Minggu, 30 September 2012



MEMBANGUN POLA FIKIR PETANI-NELAYAN MASA DEPAN

Oleh: Prof. Dr. Ir.  M. Amin Aziz *)
        Ir. A.M. Harahap **)


Tidak dapat dipungkiri bahwasanya petani dan nelayan masih menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia yang oleh karena itu tetap harus menjadi sasaran utama program pembangunan nasional. Disisi lain petani dan nelayan oleh karena jumlah dan potensinya itu seharusnya memberikan kontribusi yang besar pula bagi pembangunan nasional. Fenomena dan masalah-masalah yang terjadi di seputar kehidupan petani-nelayan akhir-akhir ini, memperlihatkan bahwa dunia petani dan nelayan penuh dengan dinamika dan senantiasa berubah-ubah sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman, dan hal ini sangat terkait erat dengan pola fikir petani-nelayan itu sendiri. Fenomena yang paling umum dari kehidupan petani-nelayan adalah pada umumnya taraf kesejahteraan mereka baik secara individu maupun komunal, masih relatif rendah jika dibandingkan dengan individu atau kelompok masyarakat lainnya, dan hal ini menjadi tantangan bagi pembangunan. Potret desa nelayan pada umumnya adalah gambaran kemiskinan dan kekumuhan. Sementara masalah umum yang dihadapi mereka adalah produktivitas dan pendapatan yang rendah, yang disebabkan oleh faktor-faktor internal mereka sendiri seperti lahan yang semakin termarjinalisasi, pendidikan, penguasaan teknologi dan lain-lain, maupun faktor-faktor dari luar seperti pemasaran, permodalan dll.  

Di Sumut, petani dan nelayan dalam konstelasi otonomi daerah merupakan pelaku pembangunan daerah yang sangat penting mengingat jumlah mereka 53,73% dari penduduk Sumut (BPS, 1999). Kontribusi mereka dalam pembangunan daerah diwujudkan melalui peranannya baik dalam penyediaan hasil-hasil produksi bahan pangan dan industri maupun dalam peranannya sebagai konsumen produk-produk industri. Upaya-upaya pembangunan daerah Sumut dalam meningkatkan produksi dan pendapatan daerah, sekaligus harus ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani-nelayan. Pendapatan yang cukup besar, akan memungkinkan mereka dan keluarganya mendapatkan pendidikan yang baik dan makanan yang bergizi sehingga lebih lanjut akan meningkatkan produktifitasnya, suatu hal yang sangat diperlukan dalam meningkatkan daya saing petani-nelayan itu sendiri.

Peningkatan produktifitas dan pendapatan petani-nelayan dilakukan oleh Pemerintah melalui program-program intensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi serta peningkatan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Berbagai kebijaksanaan telah dikeluarkan untuk mendorong program ini seperti kredit murah, pembangunan dan perbaikan sarana pengairan, penyediaan sarana produksi ditingkat produksi dan lain-lain. Program-program ini pada hakekatnya adalah subsidi, yang berarti pengalihan sumberdaya nasional yang dapat digunakan untuk keperluan pembangunan sektor lain kepada petani-nelayan. Oleh karenanya ketidak berhasilan program-program tersebut tidak hanya merugikan petani-nelayan tetapi juga merugikan kelompok masyarakat lainnya.

Bagi petani-nelayan, adanya program-program bersubsidi ini merupakan kesempatan besar, yang mungkin akan terasa mahal pada saat yang akan datang. Pada saat inipun subsidi sudah sangat dikurangi. Bunga kredit untuk usahatani sudah semakin meningkat, air irigasi harus membayar, subsidi pupuk dikurangi dan lain-lain. Petani-nelayan dihadapkan pada tantangan-tantangan baru sehingga perlu pola pemikiran yang baru pula untuk menghadapinya.

Petani-Nelayan Subsisten dan Komersil

Berdasarkan pola fikirnya, petani dibedakan menjadi petani-nelayan subsisten dan komersil. Diantara kedua tipe petani-nelayan ini terdapat tipe peralihan, yaitu petani-nelayan yang berada pada tahap peralihan dari subsisten ke komersial.

Cara pandang kedua golongan petani-nelayan ini terhadap unit usahataninya sangat berbeda. Petani-nelayan subsisten  melihat unit usahataninya sebagai tempat produksi yang akan menghasilkan pangan untuk kebutuhan mereka dan keluarganya sehari-hari, sedangkan petani-nelayan komersil melihat unit usahataninya sebagai usaha unit usaha bisnis, yang harus mendatangkan keuntungan setinggi-tingginya, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan pangannya tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lain seperti pendidikan, rekreasi serta investasi lebih lanjut. Apabila petani-nelayan subsisten tidak banyak memperhatikan faktor-faktor diluar dirinya, maka sebaliknya petani-nelayan komersil selalu memperhatikan dan bertindak untuk merespon perubahan-perubahan yang terjadi, karena tingkat keuntungan usahataninya  sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan yang ada.

Petani-nelayan subsisten tidak membutuhkan modal besar, sehingga cukup dipenuhi dari usaha sebelumnya, sedangkan pada petani-nelayan komersil modal yang dibutuhkan cukup besar karena usahanya terus berkembang tidak saja dibidang produksi tetapi juga pada penyewaan alat-alat dan prosesing hasil serta pemasaran.

Lembaga-lembaga penunjang kegiatan petani-nelayan seperti lembaga perkreditan dan pemasaran tidak begitu dibutuhkan pada kelompok petani subsisten, sedangkan pada kelompok petani-nelayan komersil, lembaga-lembaga ini eksistensinya sangat diperlukan karena tanpa lembaga-lembaga ini posisi petani dalam bidang pemasaran akan lemah yang berakibat  pada rendahnya harga penjualan. Lembaga kredit dibutuhkan kecuali sebagai sumber dana untuk membiayai usahatani juga dibutuhkan untuk menyimpan surplus yang diperoleh.

Perubahan Pola Fikir Petani-Nelayan
 
Penelitian tentang perubahan pola fikir petani-nelayan Sumut belum banyak dilakukan baik dilembaga-lembaga Penelitian maupun Universitas, namun beberapa data penelitan di daerah lain secara tidak langsung dapat memberikan indikator telah terjadinya perubahan pola pemikiran petani-nelayan  sejak program-program pembangunan dijalankan. Indikator perubahan pola pikir petani-nelayan tersebut; Pertama, perubahan penggunaan bibit unggul dan pupuk. Penggunaan varietas padi unggul di Indonesia di mulai sejak tahun 1968. Sebelumnya, petani menanam varietas lokal dan unggul nasional  (Sigadis, Remaja, Jelita, Dewi Dara, Shinta, dan Bengawan). Penggunaan varietas unggul baru PB/IR meluas dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 1970/1971 penggunaan varietas PB/IR baru mencapai sekitar 25% maka pada tahun 1980/1981 sampai sekarang sudah hampir 100%. Bersamaan dengan penggunaan bibit unggul tersebut, tingkat penggunaan pupuk juga meningkat. Perubahan selama 10 tahun (1970/1971 sampai dengan 1980/1981) penggunaan pupuk ini telah meningkat sekitar 145 %. Hanya saja karena semakin tingginya harga pupuk akhir-akhir ini mengakibatkan penggunaan pupuk sebagai salah satu faktor produksi yang utama cenderung menurun karena tidak/kurang sebanding dengan hasil usahatani yang dicapai. Kedua, perubahan  penggunaan alat-alat pertanian/perikanan. Perubahan penggunaan alat-alat pertanian terjadi baik pada usaha pertanian tanaman pangan maupun pada perikanan.  Pada perusahan perikanan laut, pemakaian motor tempel naik sekitar 20 % per tahun, dan kapal motor naik sekitar 10 % per tahun. Peningkatan ini lebih tinggi dari peningkatan perahu tanpa motor yang hanya bertambah 1 % per tahun. Perubahan penggunaan alat-alat pertanian pada tanaman pangan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya penggunaan alat-alat pertanian seperti Traktor, Hand Sprayer dan Perontok Padi. Penggunaan Traktor, naik sekitar 15% pertahun, Hand sprayer naik sekitar 15% pertahun dan Perontok Padi naik sekitar 20%/tahun. Peralihan penggunaan alat-alat pertanian ini didasari oleh pemikiran-pemikiran rasional untuk meningkatkan keuntungan. Sebagai ilustrasi yang cukup baik adalah penggunaan traktor untuk pengolahan tanah. Dalam pengolahan tanah, terjadi pergeseran penggunaan tenaga manusia dan ternak dengan traktor. Pergeseran ini terjadi karena adanya peningkatan upah riil baik untuk tenaga manusia maupun ternak. Selain lebih murah penggunaan traktor juga lebih cepat . Disalah satu desa penelitian, pengolahan dengan memakai traktor per ha sampai siap tanam memerlukan waktu 22 jam kerja, dengan ternak 73 jam, dengan tenaga manusia 206 jam kerja. Biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan lahan per ha pada musim tanam tahun 2000/2001 adalah Rp 250.000,- jika menggunakan traktor, Rp 300.000,- dengan ternak dan Rp 290.000,- apabila dengan tenaga manusia. Ketiga, perubahan penggunaan modal kredit. Perkembangan  penggunaan kredit dapat diketahui dari peningkatan jumlah kredit yang di berikan oleh Lembaga-lembaga Perkreditan yang beroperasi di  pedesaan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa dan Pegadaian  Negara. Tingkatan pertumbuhan rata-rata kredit dari yang di berikan oleh Bank Desa adalah sekitar 7%, Lumbung Desa sekitar 54 % dan Pegadaian Negara sekitar 12%.  Angka-angka ini menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan telah membutuhkan modal kredit untuk menjalankan usahanya. Namun pertumbuhan ini masih relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan perkreditan sektor perkotaan seperti perindustrian dan perdagangan yang tumbuh sekitar 35% dan 25% pada kurun waktu yang sama. Pertumbuhan kredit pada Lumbung Desa cukup besar, tetapi kalau dilihat volume kreditnya adalah yang paling kecil sehingga tidak menjadi ukuran untuk menilai perkembangan perkreditan di pedesaan. Data Penyaluran kredit Bimas bahkan menunjukan tidak berkembangnya jumlah petani yang menjadi debitur. Pada tahun 1970/1971 jumlah debitur 1,3 juta sedangkan pada tahun 1980/1981 jumlah debitur 1,1 juta petani, walaupun nilainya bertambah dari 8,5 milyard menjadi 35,9 milyard rupiah. Sedangkan ketidakberhasilan dan macetnya program KUT untuk usaha pertanian yang sering dibicarakan akhir-akhir ini disamping banyak disebabkan oleh faktor mis-manajemen dan penyelewengan, juga secara teknis usaha pertanian pada umumnya untuk menikmati hasil panen diperlukan waktu yang cukup lama, yakni minimum tiga bulan. Selanjutnya karena kebutuhan modal pulalah pemerintah masih meluncurkan program bantuan permodalan bagi petani seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Keempat, perkembangan  kelembagaan. Lembaga-lembaga yang dibentuk oleh petani untuk memenuhi kebutuhannya adalah kelompok tani, KUD dan Lumbung Desa. Kelompok tani merupakan wadah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tehnis, KUD untuk wadah ekonomi dan Lumbung desa merupakan lembaga perkreditan yang melayani pinjaman dalam bentuk padi atau uang pada masyarakat pedesaan. Perkembangan jumlah Lumbung Desa ternyata hanya tumbuh sekitar 0,5%. Mungkin ada anggapan pertumbuhan yang kecil ini disebabkan karena perannya sudah digantikan oleh lembaga-lembaga lain, tetapi kalau data ini dihubungkan dengan peran KUD yang belum begitu nyata ditengah-tengah masyarakat desa, menunjukkan bahwa petani memang masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan kelembagaannya.

Tantangan Masa Depan Yang Dihadapi Petani-Nelayan

Beberapa tantangan yang dihadapi oleh petani pada masa yang akan datang, baik yang berasal dari Perubahan Kebijaksanaan Pemerintah, Perubahan Selera Konsumen, maupun karena adanya Perkembangan penduduk adalah : pertama, naiknya bunga kredit. Bunga kredit untuk kredit usahatani telah naik dari 12% pertahun menjadi 17% pertahun. Kenaikan ini berarti akan meningkatkan biaya usahatani. Kenaikan kredit untuk investasi besar, sangat menghambat investasi di bidang pertanian dan agro-industri. Kedua, naiknya harga pupuk dan iuran pemakai air. Seperti halnya kredit, subsidi terhadap pupuk dan pemakaian air irigasi juga akan cenderung dikurangi karena semakin besar subsidi yang diberikan akan semakin memberatkan keuangan pemerintah, apalagi pemerintah saat ini memiliki kesepakatan dengan IMF untuk mengurangi dan menghentikan segala bentuk subsidi. Pembebanan iuran air kepada petani merupakan pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada petani. Dengan demikian air tidak lagi menjadi faktor produksi yang bisa didapat secara gratis, tetapi menjadi faktor produksi yang harus dibayar sehingga harus efisien penggunaannya. Ketiga, makin sempitnya lahan pertanian. Pertambahan penduduk yang tinggi, menyebabkan pemilikan tanah per keluarga  semakin sempit yang lebih lanjut berakibat pada menyempitnya kesempatan kerja disektor produksi. Sempitnya kesempatan kerja ini juga karena makin terdesaknya peran tenaga kerja buruhtani oleh tenaga mekanis. Keempat, rendahnya harga komoditas pertanian. Rendahnya hasil produksi petani diakibatkan oleh belum baiknya sarana transportasi dan besarnya margin harga. Semakin besar margin harga berarti semakin besar bagian yang diterima oleh pedagang (dan biaya tataniaga lainnya) dari harga yang dibayar oleh konsumen untuk mendapatkan produk tersebut. Besarnya margin ini juga menunjukan lemahnya posisi petani dalam transaksi dan atau dalam penentuan harga oleh pemerintah. Rendahnya harga ini kemudian menyebabkan nilai tukar produk pertanian terhadap barang-barang hasil industri menurun, yang berarti secara relatif menurunkan pendapat petani. Kelima, adanya persaingan dengan produk impor. Sebagai konsekuensi masuknya Indonesia kepasar global, untuk mengekspor hasil-hasil pertanian dan industri, kita juga harus membuka pasaran domestik terhadap masuknya produk-produk pertanian. Dengan demikian produk petani harus bersaing dengan produk impor baik untuk pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Keenam, tuntutan mutu dari konsumen. Meningkatnya taraf hidup penduduk  menimbulkan tuntutan yang meningkat terhadap kualitas produk pertanian/perikanan. Konsumen Perkotaan terutama golongan masyarakat mampu menginginkan produk-produk yang bersih, dan bebas penyakit. Demikian pula untuk masuk kepasar ekspor, ada standar-standar mutu yang harus di penuhi.

Pola Fikir Petani-Nelayan Masa Depan


Perubahan pola pikir yang perlu dilakukan adalah  untuk menjawab tantangan yang akan dihadapi oleh petani-nelayan pada masa depan.  Perubahan tampaknya sudah terjadi, terbukti dengan diadopsinya teknologi baru dan dipakainya alat-alat pertanian/perikanan yang lebih modern dalam kegiatan usaha mereka. Namun demikian perkembangan kelembagaan petani-nelayan masih belum tampak memuaskan, padahal tantangan masa datang banyak masalah yang harus dijawab oleh petani-nelayan secara bersama-sama  dalam kelembagaan yang kuat.

Pola pemikiran petani-nelayan harus lebih integral dalam memandang usahanya yang terkait erat dengan prosesing dan pemasaran karena banyak tantangan yang akan dihadapi oleh petani-nelayan dari segi pemasaran ini.  Sedangkan tantangan makin mahalnya  harga-harga  input karena berbagai subsidi dicabut dapat diatasi dengan pemilihan komoditi yang paling mengguntungkan.

Dengan demikian pola pikir yang diperlukan harus mengandung unsur-unsur : pertama, efisien di dalam menggunakan input produksi. Input produksi yang seperti tanah, pupuk, obat-obatan, peralatan, modal dan air nilainya semakin mahal, sehingga input ini harus digunakan secara efisien yang berarti penggunaan input yang sama harus menghasilkan produk yang nilainya paling tinggi. Kepekaan terhadap harga-harga input dan produk menjadi sangat penting karena harga-harga ini akan langsung berkaitan dengan keuntungan yang dihasilkan. Sikap rasional dan mau menerapkan teknologi baru yang sudah ditunjukan sebelumnya, perlu dipertajam dengan kepekaan pada harga. Kedua, dalam produksi berorientasi pada pasar/konsumen. Pada komoditas-komoditas yang sebagian atau seluruhnya akan dijual, petani-nelayan harus betul-betul memperhatikan selera dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. Dengan demikian produk akan laku dan petani-nelayan mendapatkan harga yang tinggi, sehingga keuntungan yang diperoleh tinggi pula. Ketiga, menciptakan nilai tambah. Pola pemikiran yang perlu dirubah adalah pemikiran bahwa  kegiatan petani-nelayan  adalah di bidang produksi saja. Sempitnya lapangan kerja di sektor  produksi harus diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja  baru di bidang industri khususnya  industri pedesaan yang mengolah hasil produksi pertanian/perikanan. Keempat, mengembangkan kelembagaan. Pertanian/perikanan mempunyai kepentingan-kepentingan bersama dalam hal permodalan, ketersediaan input di lokasi, harga input dan produk yang wajar, dan pemasaran. Kepentingan bersama ini lebih efisien dan efektif bila dilakukan secara bersama. Kelembagaan yang kokoh juga akan meningkatkan kekuatan tawar-menawar (bargaining position) petani-nelayan. Kelima, pemupukan tabungan dan penanaman kepercayaan. Untuk mengembangkan usaha lebih lanjut baik di produksi maupun industri pedesaan petani-nelayan memerlukan modal dan atau partner usaha. Modal dan partner usaha ini akan diperoleh dengan pemupukan modal dari surplus usahanya dan adanya kepercayaan. Kredit juga baru bisa di dapat kalau Bank sudah percaya terhadap prospek usaha dan peminjamnya.

Penutup
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani-nelayan merupakan kegiatan yang harus terus menerus dilakukan oleh seluruh pihak terutama petani-nelayan itu sendiri, karena petani-nelayan merupakan komponen masyarakat yang relatif bahkan terbesar di negara ini. Yang terpenting dalam keseluruhan upaya-upaya tersebut adalah bagaimana pola fikir petani-nelayan senantiasa terus berubah dan berkembang sesuai dengan tantangan-tantangan yang dihadapinya.

Dalam membangun pola fikir petani-nelayan di masa depan 

_______

*)         Direktur Utama Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA Consultants)
**)       Direktur PPA Consultants Cabang Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar