Minggu, 14 Oktober 2012

Pengembangan Agroindustri di Pedesaan Sumut



Pengembangan Agroindustri

di Pedesaan Sumut

Oleh:  Prof. Drs. M. Dawam  Rahardjo *)
Ir. A. Masir Harahap **)


Sebagai daerah yang tergolong relatif maju dengan jumlah penduduk terbesar keempat di Indonesia, Sumatera Utara tidak dapat dan tidak boleh mengabaikan potensi pedesaan sebagai tulang punggung pembangunan daerah apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini. Data statistik (BPS, 1999) menunjukkan penduduk Sumatera Utara yang bekerja di sektor pertanian merupakan jumlah yang terbesar yakni 53,73 %, serta masih lebih banyak yang tinggal di pedesaan dibanding di perkotaan yakni 6,46 juta jiwa (54,03 %).   

Peletakan prioritas pembangunan daerah Sumut pada bidang ekonomi dengan titik tekan pada sektor industri khususnya agroindustri harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang konkrit. Pengembangan agroindustri di pedesaan Sumut pertama-tama perlu dipahami sebagai bagian dari strategi industrialisasi yang mengandung unsur strategi tertentu. Pertama, industrialisasi  ini direncanakan dalam kaitannya dengan pembangunan sektor pertanian. Kedua, pelaksanaan agroindustri tersebut harus dilaksanakan di pedesaan. Kegiatan pertanian umumnya berlangsung di pedesaan, tapi di kota juga ada kegiatan pertanian, bahkan beberapa jenis kegiatan pertanian tertentu mengambil tempat di  perkotaan.

Mengapa industrialisasi perlu dikaitkan dengan pembangunan pertanian ?. Karena, menurut beberapa pengamatan, industrialisasi selama ini masih kurang kaitannya dengan pembangunan pertanian. Padahal, strategi pembangunan pada masa lalu telah di titikberatkan pada sektor pertanian dan sektor industri yang mengolah hasil pertanian (agroindustri). Hanya saja industrialisasi yang di laksanakan seolah-olah berdiri sendiri dan tidak mengolah hasil pertanian yang seharusnya dapat juga dianggap sebagai hasil dan meningkatkan pembangunan pertanian. Industri yang didirikan umumnya bersifat foot-loose yang lebih banyak mengolah bahan baku dan bahan penolong yang diimpor. Bahkan industri yang dibangun di pedesaan seringkali tidak mengolah bahan-bahan dari hasil pertanian, apalagi bahan setempat.

Mengapa pembangunan agroindustri itu harus terjadi di pedesaan ?, karena selama ini industrialisasi pada umumnya berlangsung disekitar kota-kota besar. Padahal, hasil pertanian umumnya dihasilkan di daerah pedesaan. Karena itu, berdasarkan prinsip mendekati bahan baku atau bahan mentah, logis jika agroindustri tersebut dilaksanakan di pedesaan.

Agroindustri di pedesaan ini juga berkait dengan soal surplus tenaga kerja dan tingkat pengangguran yang relatif tinggi di pedesaan. Pengangguran itu sendiri timbul karena berbagai sebab, seperti pertumbuhan penduduk dan makin menyempitnya lahan pertanian atau karena  penggunaan teknologi  (misalnya traktor atau mesin giling) dan perubahan sistem sosial telah  mengeser  penggunaan  tenaga manusia. Dibangunnya agroindustri di pedesaan diharapkan bisa menyerap tenaga kerja. Jadi selain mendekati bahan baku atau bahan mentah, agroindustri pedesaan juga bermaksud mendekati sumber tenaga kerja.

Lebih jauh, agroindustri di pedesaan berkaitan dengan gagasan untuk menciptakan lapangan usaha di pedesaan.  Pedesaan memang daerah yang statis, dalam arti tidak banyak perubahan dalam lapangan ekonomi.  Sebaiknya kota lebih dinamis.  Lapangan kerja baru lebih banyak diciptakan di kota-kota. Akibatnya, terjadi migrasi penduduk desa ke kota-kota.  Agroindustri bersifat menciptakan lapangan kerja baru. Penempatan agroindustri di pedesaan berarti menimbulkan industrialisasi dengan segala dampaknya di pedesaan. Agroindustri dimaksudkan sebagai lahan atau arena usaha baru bagi penduduk pedesaan.

Tentu ada maksud yang lebih jauh dari pengembangan agroindustri di pedesaan. Agroindustri berfungsi menciptakan value added bagi hasil pertanian. Jika agroindustri tersebut dikembangkan dikota-kota, maka value added hasil pertanian itu akan dipetik penduduk kota. Padahal penduduk pedesaan lebih membutuhkan peningkatan pendapatan. Dengan adanya agroindustri itu, pendapatan baru yang diciptakan dapat tetap di tahan di pedesaan

Penciptaan pendapatan didaerah pedesaan mempunyai dampak lebih luas, yaitu memungkinkan penduduk pedesaan menabung. Dari tabungan akan terbentuk modal. Potensi tabungan itu akan menimbulkan bank-bank sebagai lembaga perantaraan keuangan. Dengan bank-bank tersebut, terbuka kesempatan lebih luas bagi penduduk pedesaan untuk melakukan investasi dengan memanfaatkan fasilitas perkreditan.

Perkembangan Agroindustri

Bila agroindustri itu dimaksudkan sebagai industri yang mengolah bahan-bahan pertanian, maka sesungguhnya agroindustri sudah lama dikenal di Sumut. Bahkan agroindustri adalah bentuk awal industri di Sumut, karena Sumut adalah daerah agraris dengan primadonanya sub-sektor perkebunan. Berkembangnya industri pertanian adalah konsekuensi logis masyarakat agraris. Agroindustri yang berkaitan dengan pertanian dan mula-mula tumbuh itu umumnya adalah industri rakyat yang dikerjakan dalam pola kerajinan rumah tangga.

Disamping industri yang mengolah bahan-bahan pertanian, industri yang mula-mula berkembang di Sumut adalah industri yang mengolah bahan-bahan tambang seperti minyak bumi di P. Brandan. Industri pertambangan umumnya berskala besar sehingga harus ditangani modal asing atau BUMN.

Di zaman penjajahan ada dua macam industri pertanian dan pertambangan. Pertama adalah yang produknya dijual dipasar dunia. Kedua, yang produknya untuk pasar dalam negeri atau untuk diekspor. Seperti diketahui bahwa hasil industri minyak bumi sebagian besar di ekspor. Sedangkan industri pertanian yang juga berorientasi ekspor adalah produk-produk karet, tembakau deli dan kelapa sawit. Beberapa jenis industri pertanian memang lebih berorientasi pada pasar dalam negeri daripada ekspor diantaranya adalah industri gula dan penggilingan  beras. Sedangkan industri pertanian lain seperti kopi sebagian untuk ekspor dan sebagian lagi untuk pasaran dalam negeri.

Di samping industri-industri pertanian dan pertambangan di Sumut berkembang pula berbagai industri non-pertanian dan non-pertambangan yang dikenal sebagai industri manufaktur seperti industri perabot rumah tangga, mebeleir, alat-alat  besi (dibikin para pandai besi ), pengecoran logam dan lain-lain. Berbagai industri itu mulai berkembang pesat pertengahan dasawarsa ’30 an. Pemerintah mulai mengembangkan industri itu dengan berbagai alasan. Pertama, untuk mengatasi pengganguran akibat depresi dan kejatuhan sektor pertanian. Kedua, guna mengurangi ketergantungan pada barang-barang pabrik di luar negeri khususnya pada masa perang, meski menurut kebijaksanaan industri 1937, pemerintah kolonial tidak memberikan sokongan pada cabang-cabang industri yang menyaingi barang-barang impor. Dan ketiga, guna mengurangi pengaruh  buruk konjungtur perekonomian dunia.

Dalam pengembangan berbagai jenis industri tersebut, prinsip keuntungan komparatif tentu jadi dasar pertimbangan. Diantaranya, ketersediaan bahan-bahan hasil pertanian yang relatif melimpah  atau tersedia. Bahkan salah satu sebab pokok kolonialisasi Belanda adalah guna bisa membangun pertanian yang menghasilkan bahan-bahan industri. Dari situlah lahir industri pengolahan karet, teh, kopi, tembakau, tebu, kelapa sawit dan berbagai industri berbasis perkebunan tanaman jangka pendek ( seperti tebu dan tembakau ) atau perenial ( seperti  karet, the, kopi dan kelapa sawit).

Industri-industri pertanian tersebut adalah jenis industri yang mempunyai kaitan ke belakang  (backward  linkage), yaitu  ke usaha pertanian. Perkebunan teh, kopi atau coklat di bangun guna memproduksi  bahan-bahan minuman yang di sukai masyarakat Eropa.  Masyarakat dunia waktu itu banyak membutuhkan gula, karet, pakaian, cat, alas kaki dan berbagai barang lainnya, yang bahan bakunya hanya bisa diproduksi dalam jumlah dan jenis tertentu  di luar Eropa.

Di masa kemerdekaan, industri pertanian seperti inilah yang berkembang dan didorong  perkembangannya oleh pemerintah. Tapi industri pertanian ini terdesak industri manufaktur yang berkembang dari kebijaksanaan industrialisasi substitusi impor. Pada dasawarsa ’50 an, ketika Indonesia mulai membangun dan pada saat yang sama negara-negara yang baru merdeka juga baru bisa mulai membangun, kecenderungan  umum yang terjadi adalah dilaksanakannya kebijaksanaan industrialisasi sebagai bentuk utama pembangunan.

Beberapa ciri kebijaksanaan industrialisasi adalah pertama, mengutamakan sektor industri dan  mengabaikan pertanian. Kedua, membangun industri untuk membuat  barang-barang yang selama itu di impor. Dengan kata lain, industri yang dibangun adalah industri pengganti barang impor. Dan ketiga, bahan-bahan baku dan bahan penolong industri tersebut harus diimpor.

Banyak sebab mengapa bahan baku dan bahan penolong itu harus di impor. Pertama, barang yang akan dibuat adalah barang-barang yang semula diimpor, karena itu bahan-bahannya juga masih harus diimpor. Kedua, teknologi yang dipakai dibuat di luar negeri. Dan ketiga, bahan-bahan baku itu belum bisa dibuat di dalam negeri. Karena itu maka salah satu ciri industri substitusi impor adalah ketergantungannya pada bahan baku, bahan penolong dan teknologi luar negeri. Industri substitusi impor umumnya adalah industri perakitan, misalnya perakitan bahan-bahan kimia, perakitan barang-barang cair, perakitan alat-alat, perakitan bahan-bahan tekstil dan bahkan juga perakitan bahan-bahan makanan.

Jenis industri semacam itu berkembang pada masa Orde Baru, terutama pada masa-masa awalnya. Yang biasanya jadi lambang industri substitusi impor adalah kendaraan bermotor atau Coca-cola. Minuman model Coca-cola dan minuman ringan (soft-drink) lainnya barangkali hanya mempergunakan air dari Indonesia, bahan selebihnya diimpor. Hingga kini jenis industri semacam ini masih terus berkembang. Industri semacam itu hanyalah perluasan dan globalisasi pemasaran saja dari industri di negara-negara maju, yang ditanam di Indonesia sebagai cabang perusahaan patungan atau franchise perusahaan induknya.

Jenis industri seperti itu tak bisa dibendung oleh negara kita yang menganut sistem ekonomi terbuka. Karena itu sikap yang harus diambil adalah sikap positif, dengan melihat segi-segi manfaat langsung atau tak langsungnya. Bagaimana pun industri tersebut telah bisa memberi lapangan pekerjaan dan penghasilan baru.  Produksi Coca-cola telah menciptakan lapangan kerja baru. Distribusinya paling tidak juga mendorong pertumbuhan restoran, warung dan pedagang kaki lima. Banyak orang mendapat laba penjualan dan lapang pekerjaan dari industri  semacam ini.

Tapi manfaat yang paling bernilai adalah ilham terhadap kaum wiraswasta  untuk membuat komoditi serupa. Salah satu reaksi positif masuknya industri semacam ini adalah lahirnya industri teh botol dan teh kotak. Awalnya banyak orang khawatir Coca-cola akan jadi ‘budaya’ baru  di Indonesia mengingat semboyannya : ‘kapan saja dan dimana saja  ( minum Coca-cola )’.

Tapi kini semboyan itu agaknya telah dilupakan. Orang Indonesia dan orang Asia umumnya, masih akan sakit perut minum coca cola di pagi hari. Demikian pula dalam pesta-pesta atau seminar panitia lebih suka menghidangkan teh botol. Justru teh botol  atau teh  kotak  itulah yang ‘kapan saja dan dimana saja   ( cocok untuk diminum )’ Coca-cola hanya enak di minum jika telah didinginkan. Tapi tidak demikian halnya teh  botol  dan teh  kotak. Orang malah ada yang ingin minum teh tanpa didinginkan, guna menghindari pilek. Ternyata Coca-cola masih bisa dikalahkan teh botol.

Sungguh pun begitu minuman dalam kemasan botol yang tahan lama dan praktis yang berasal dari luar negeri itu telah berhasil   merangsang tumbuhnya produk-produk baru. Di antara yang terkenal adalah minuman Markisa dari Sumut dan Sulsel. Keberhasilan minuman ini karena ia adalah produk khas suatu daerah. Hingga kini daerah-daerah lain praktis belum mengembangkan produk Markisa ini.

Konsep agribisnis 


Pada awal dasawarsa ’80 an, mulai dikenal konsep agribisnis. Konsep ini di Indonesia mula-mula di populerkan sarjana ahli pemasaran hasil-hasil pertanian lulusan Jerman, Prof.Dr.Ir. A.M.Saefuddin (mantan Menteri Pangan kabinet Habibie, Pendiri Pusat Pengembangan Agribisnis), melalui seminar IPB yang di prakasainya tahun 1989. Tapi  perkembangan popularitas  konsep ini sangat lamban. Baru akhir dasawarsa ’80 an konsep ini mulai ramai dibicarakan.

Agroindustri sebenarnya bagian integral dari konsep agribisnis yang berarti ‘bisnis dibidang pertanian’. Karena itu, agribisnis adalah sebuah konsep pemasaran. Latar belakangnya, Pertama, kesadaran bahwa hasil-hasil pertanian mudah rusak sehingga harganya cepat jatuh. Kedua, hasil pertanian ini, juga pemasarannya tergantung musim. Jika saat tidak musim, konsumen sulit mendapatkan hasil pertanian tersebut, tapi bila saat panen, sering terjadi kelebihan produksi sehingga harganya jatuh dan merugikan produsen. Ketiga, hasil pertanian tak mudah dikontrol. Sulit bagi petani menentukan ukuran, volume, dan rasa buah, akar atau daun yang di jual. Ini menyulitkan pemasaran.

Latar belakang yang penting adalah timbulnya konsep strategi pembangunan pada tahun ’50 an dan ’60 an yang beranggapan bahwa cara paling singkat  untuk membangun adalah dengan mencapai pertumbuhan tinggi yang hanya bisa di capai lewat pembangunan industri. Pembangunan pertanian di anggap warisan kolonial. Disamping itu, banyak keterbatasannya. Pertama, pembangunan pertanian dihambat oleh apa yang dikenal dengan hukum kenaikan hasil yang senantiasa berkurang ( law of deminishing return ). Kedua, elasititas pendapatan terhadap hasil-hasil pertanian itu kecil. Meningkatnya pendapatan masyarakat tak menimbulkan perubahan besar terhadap permintaan hasil pertanian, tapi sebaliknya terhadap hasil industri tinggi. Ketiga, dilihat dari segi konsumsi, menurut hukum Engels, makin tinggi pendapatan masyarakat, makin kecil bagian konsumsi pangannya. Di samping itu, nilai tukar hasil pertanian makin kecil terhadap hasil industri. Karena itu, daya beli golongan  masyarakat tani, makin kecil.

Agribisnis adalah konsep pemasaran hasil-hasil pertanian dengan mengingat sifat-sifat produk pertanian tersebut, Upaya mengatasi kesulitan pemasaran itu; Pertama, dengan mempergunakan rekayasa biologi dan bioteknologi dalam budidaya tanaman. Proses pertanian itu dilaksanakan dengan menggunakan teknologi canggih, baik masinal (mempergunakan alat-alat atau mesin-mesin), biologi (mengembangkan bibit unggul dan cara pemeliharaan tanaman) maupun kimiawi ( penggunaan pupuk dan pestisida ). Kedua, dengan penanganan pasca panen dan mengolah lebih lanjut hasil-hasil pertanian itu. Dan ketiga, menggembangkan organisasi bisnis dan manajemen modern, baik dalam proses produksi maupun distribusi atau pemasaran.

Meski agroindustri bagian dari agribisnis, tapi agroindustri bisa melaksanakan dan mengintegrasikan seluruh sistem agribisnis. Karena itu maka agroindustri bisa identik dengan agribisnis, setidak-tidaknya merupakan penerapan dari sistem agribisnis. Dalam hal ini agribisnis adalah upaya untuk mengatasi kendala pemasaran hasil-hasil pertanian dengan cara mengintegrasikan secara vertikal proses produksi, pemasaran, bahkan konsumsi hasil-hasil pertanian.

Strategi Pengembangan

Agroindustri bisa merupakan bentuk pengintegrasian seluruh proses dari penanaman, penanganan pascapanen, pemrosesan, dan pemasaran hasil pertanian. Dengan upaya itu, hasil pertanian bisa diproduksi dalam skala besar, tahan lama, sehingga cukup waktu bila dipasarkan secara nasional maupun internasional. Contohnya, keripik kentang (potato chips) produksi AS yang di pasarkan di seluruh dunia dalam jumlah besar. Produk macam ini telah dikembangkan di Indonesia, walaupun sampai saat ini masih dalam skala kecil, mutu yang rendah, dan harganya jauh lebih murah. Meski begitu, kita bisa meniru dengan memanfaatkan kepopuleran produk AS tersebut.

Contoh lainnya, kripik pisang merupakan makanan tradisional yang digemari. Meski begitu, keripik pisang tradisional mungkin terlalu keras, bentuknya terlalu kasar, dan kemasannya tak menarik. Sekarang keripik Lampung tersebut diproduksi dengan kemasan baru dan di buat sedemikian rupa, seolah-olah sebuah produk khas Lampung. Hampir setiap orang luar yang mengunjungi Lampung pasti membawa oleh-oleh keripik pisang sebagaimana orang membawa minuman Markisa dari Sumut.

Dengan bioteknologi yang membuat pisang segar lebih awet, misalnya hasil perkebunan Del Monte di  negara-negara Amerika Latin dan Filipina, pisang itu dipasarkan di AS, Eropa Barat dan Timur Tengah. Padahal rasanya tidak seenak pisang Barangan dan pisang Ambon misalnya. Bioteknologi tersebut tentunya bisa juga membuat pisang Barangan dan pisang Ambon segar lebih awet dan rasanya menjadi lebih enak, sehingga  bisa dipasarkan lebih luas.

Disamping pisang segar, salah satu produk yang bisa dikembangkan melalui agroindustri pisang umpamanya adalah tepung pisang. Gagasan ini bersumber dari makanan tradisional Indonesia. Sampai saat ini para ibu banyak yang memberi bayinya makan pisang, disamping memberi susu. Mungkin, ibu-ibu membutuhkan tepung pisang untuk makanan bayinya. Makanan bayi dari tepung pisang belum populer, karena para ibu masih bisa mengatasi masalahnya dengan mendapatkan pisang segar di pasar atau toko swalayan. Lagi pula memberi makan pisang kepada bayi dengan pisang kini semakin populer. Menghadapi soal ini agribisnis bisa merancang suatu produk makanan bayi dengan citra  modern dan lebih praktis, awet dan terjaga.

Saat ini kita masuk tahap baru dalam agribisnis. Ciri pokok tahap baru ini adalah terdapatnya kesadaran konsumen yang tinggi terhadap semula produk, terutama dari segi hygiene dan kandungan gizi. Setiap produk makanan umpamanya, merasa perlu mencantumkan kandungan isi (ingredient), gizi  dan tingkat higiene-nya. Kandungan bahan makanan dan minuman, dan bukan sekadar rupa dan rasa, bisa di jadikan bahan promosi.

Sekarang ini air putih pun laku di jual bahkan harganya lebih tinggi dari bensin atau susu. Asal usulnya antara lain adalah pengertian tentang air sehat yang dapat di minum (safe drinking water). Dalam kasus ini, industri telah  berhasil  menciptakan citra tertentu pada air putih. Orang Barat sangat berhati-hati minum air putih, mereka lebih “ selamat minum Coca cola “. Segi ini tentu harus di pikirkan jika kita hendak mengekspor komoditi agroindustri.

Dewasa  ini  di negara-negara industri  maju ada kecenderungan kuat untuk mengkonsumsi sari buah asli ( 100% pure ) tanpa gula (unsweedtened). Produk macam ini ada pada jenis sari buah jeruk, tomat, nenas, kelapa atau bahkan rambutan, salak, pisang, semangka, durian dan manggis yang banyak di Sumut. Pola permintaan pasar ini tentu saja perlu dijawab produsen. Hal itu bisa menjadi jalan keluar bagi beberapa masalah pemasaran hasil-hasil pertanian di Sumut.

Hal yang perlu dicatat adalah produk buah-buahan di Sumut kurang mampu bersaing dengan produk impor, misalnya anggur, apel, jeruk dan pir. Produk buah tropis kita juga belum bisa bersaing dengan produk yang sama dari negara-negara Asia, misalnya, China, Thailand, Filipina, Taiwan atau bahkan dari negara Timur Tengah dan Amerika Latin untuk pasaran AS dan Eropa. Agroindustri bisa merupakan salah satu upaya mengatasi masalah tersebut.

Sumut juga harus bisa membuat nenas, markisa, rambutan dan salak kalengan, cairan (minuman) atau konsentrat untuk ekspor. Yang penting diperhatikan pada agroindustri buah-buahan tersebut adalah bahwa seringkali bahan baku industri pengolahan dari kebun sendiri kurang bisa mengguntungkan daripada hasil kebun pekarangan petani tradisional, sehingga perlu dikembangkan kemitraan yang merupakan salah satu prasyarat agribisnis. Selain jaminan bahan baku yang kontinyu, keseragaman dan jenis buah juga harus diperhatikan. Kasus kegagalan pendirian pabrik nenas di Jambi dan Jabar bisa menjadi pelajaran. Ketika mesin telah di datangkan, ternyata nenas yang akan di olah terlalu kecil walau sangat manis. Padahal ternyata petani tidak bisa disuruh mengubah  tanaman nenasnya begitu saja. Mereka lebih suka menanam nenas tradisional yang manis untuk pasaran lokal, akibatnya pabrik tak bisa berproduksi. Dengan begitu, pabrik pengolahan nenas bisa menimbulkan pola penanaman nenas atau sebaliknya. Demikian pula jika kita hendak mendirikan pabrik penggolahan rambutan, salak, markisa, dan bahan minuman atau kalengan lainnya, industri tersebut harus berbentuk integrasi vertikal antara pengolahan dan budidaya.

Cara yang lebih praktis untuk mengembangkan agroindustri adalah dengan mengundang industri yang sudah mantap pemasarannya, misalnya industri restoran. Restoran yang telah terkenal bisa mengkonsumsikan hasil-hasil pertanian. Jika restoran semacam Rumah Makan Garuda dan Rumah Makan Wong Solo dengan Ayam Pop dan Ayam Panggang-nya dapat dikembangkan di seluruh Sumut, terutama di kota-kota menengah, dengan sistem franschise, maka kebutuhan dan produksi ayam akan meningkat. Para perternak kecil akan bisa menjadi pemasok dalam jumlah besar.

Sebenarnya produk tradisional bisa memberi ilham kepada pengembangan agroindustri di Sumut. Contohnya, sate, khususnya sate ayam dan sate kambing yang sudah demikian terkenalnya lewat pariwisata. Jika di promosikan diluar negeri, ini bisa menarik minat konsumen yang telah mengenalnya. Permintaan sate ini kini telah tumbuh di Singapura, Hongkong, bahkan di Jepang. Tapi tak ada orang di negara-negara itu yang memproduk sate, karena itu mereka lebih suka mengimpor sate. Orang Sumut, sudah barang tentu, sanggup memproduk sate. Masalahnya, sanggupkah mereka memproduk sate dalam jumlah yang cukup besar, ajeg dan cepat sehingga bisa dikirim sore hari atau pagi hari  sesuai dengan jadwal pesawat terbang ?. Persyaratan hygiene tentunya, harus bisa dipenuhi. Hal ini menyangkut tehnik produksi, pengemasan dan penggunaan kontainer serta kerja sama dengan perusahaan penggangkutan.

Penutup

Pengembangan agroindustri  di pedesaan Sumut  sudah seharusnya dilakukan dengan suatu proyek terpadu. Tapi pola ini membutuhkan modal yang besar dan teknologi yang canggih. Cara yang lebih praktis adalah mendirikan industri dari hasil usahatani rakyat yang sudah siap, seperti pabrik pengolahan pisang, rambutan, salak, kelapa, atau tepung ikan di pedesaan. Sudah barang tentu di perlukan upaya-upaya pengorganisasian pada tingkat produksi/usahatani  rakyat tersebut. Tapi dengan di bangunnya suatu agroindustri, pasar produk pertanian rakyat khususnya di pedesaan tadi bisa terjamin.

Sungguh pun begitu, sudah waktunya kita mengembangkan suatu agroindustri di pedesaan Sumut yang sifatnya terpadu dengan penggunaan teknologi canggih seperti bioteknologi. Dalam hal ini, agroindustri merupakan jalan keluar dari berbagai permasalahan pemasaran hasil-hasil pertanian di Sumut dewasa ini.

_________
*)         Komisaris  Utama Pusat Pengembangan Agribisnis
**)       Direktur Cabang Sumatera Utara
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar