Pengembangan Agroindustri
di Pedesaan
Sumut
Oleh: Prof. Drs. M. Dawam Rahardjo *)
Ir. A. Masir Harahap **)
Sebagai daerah yang tergolong relatif maju dengan jumlah penduduk
terbesar keempat di Indonesia, Sumatera Utara tidak dapat dan tidak boleh mengabaikan
potensi pedesaan sebagai tulang punggung pembangunan daerah apalagi pada era
otonomi daerah sekarang ini. Data statistik (BPS, 1999) menunjukkan penduduk
Sumatera Utara yang bekerja di sektor pertanian merupakan jumlah yang terbesar
yakni 53,73 %, serta masih lebih banyak yang tinggal di pedesaan dibanding di
perkotaan yakni 6,46 juta jiwa (54,03 %).
Peletakan prioritas pembangunan daerah Sumut pada bidang ekonomi dengan
titik tekan pada sektor industri khususnya agroindustri harus ditindaklanjuti
dengan langkah-langkah yang konkrit. Pengembangan agroindustri di pedesaan
Sumut pertama-tama perlu dipahami sebagai bagian dari strategi industrialisasi
yang mengandung unsur strategi tertentu. Pertama, industrialisasi ini direncanakan dalam kaitannya dengan
pembangunan sektor pertanian. Kedua, pelaksanaan agroindustri tersebut harus
dilaksanakan di pedesaan. Kegiatan pertanian umumnya berlangsung di pedesaan,
tapi di kota juga ada kegiatan pertanian, bahkan beberapa jenis kegiatan
pertanian tertentu mengambil tempat di
perkotaan.
Mengapa industrialisasi perlu dikaitkan dengan pembangunan
pertanian ?. Karena, menurut beberapa pengamatan, industrialisasi selama
ini masih kurang kaitannya dengan pembangunan pertanian. Padahal,
strategi pembangunan pada masa lalu telah di titikberatkan pada sektor
pertanian dan sektor industri yang mengolah hasil pertanian (agroindustri).
Hanya saja industrialisasi yang di laksanakan seolah-olah berdiri sendiri dan
tidak mengolah hasil pertanian yang seharusnya dapat juga dianggap sebagai
hasil dan meningkatkan pembangunan pertanian. Industri yang didirikan umumnya
bersifat foot-loose yang lebih banyak
mengolah bahan baku dan bahan penolong yang diimpor. Bahkan industri yang
dibangun di pedesaan seringkali tidak mengolah bahan-bahan dari hasil
pertanian, apalagi bahan setempat.
Mengapa pembangunan agroindustri itu harus terjadi di
pedesaan ?, karena selama ini industrialisasi pada umumnya berlangsung
disekitar kota-kota besar. Padahal, hasil pertanian umumnya dihasilkan di
daerah pedesaan. Karena itu, berdasarkan prinsip mendekati bahan baku atau
bahan mentah, logis jika agroindustri tersebut dilaksanakan di pedesaan.
Agroindustri di pedesaan ini juga berkait dengan soal
surplus tenaga kerja dan tingkat pengangguran yang relatif tinggi di pedesaan.
Pengangguran itu sendiri timbul karena berbagai sebab, seperti pertumbuhan
penduduk dan makin menyempitnya lahan pertanian atau karena penggunaan teknologi (misalnya traktor atau mesin giling) dan
perubahan sistem sosial telah
mengeser penggunaan tenaga manusia. Dibangunnya agroindustri di
pedesaan diharapkan bisa menyerap tenaga kerja. Jadi selain mendekati bahan
baku atau bahan mentah, agroindustri pedesaan juga bermaksud mendekati sumber
tenaga kerja.
Lebih jauh, agroindustri di pedesaan berkaitan dengan
gagasan untuk menciptakan lapangan usaha di pedesaan. Pedesaan memang daerah yang statis, dalam
arti tidak banyak perubahan dalam lapangan ekonomi. Sebaiknya kota lebih dinamis. Lapangan kerja baru lebih banyak diciptakan
di kota-kota. Akibatnya, terjadi migrasi penduduk desa ke kota-kota. Agroindustri bersifat menciptakan lapangan
kerja baru. Penempatan agroindustri di pedesaan berarti menimbulkan
industrialisasi dengan segala dampaknya di pedesaan. Agroindustri dimaksudkan
sebagai lahan atau arena usaha baru bagi penduduk pedesaan.
Tentu ada maksud yang lebih jauh dari pengembangan agroindustri di
pedesaan. Agroindustri berfungsi menciptakan value added bagi hasil pertanian. Jika agroindustri tersebut
dikembangkan dikota-kota, maka value
added hasil pertanian itu akan dipetik penduduk kota. Padahal penduduk
pedesaan lebih membutuhkan peningkatan pendapatan. Dengan adanya agroindustri
itu, pendapatan baru yang diciptakan dapat tetap di tahan di pedesaan
Penciptaan pendapatan didaerah pedesaan mempunyai dampak lebih luas,
yaitu memungkinkan penduduk pedesaan menabung. Dari tabungan akan
terbentuk modal. Potensi tabungan itu akan menimbulkan bank-bank sebagai
lembaga perantaraan keuangan. Dengan bank-bank tersebut, terbuka kesempatan
lebih luas bagi penduduk pedesaan untuk melakukan investasi dengan memanfaatkan
fasilitas perkreditan.
Perkembangan
Agroindustri
Bila agroindustri itu dimaksudkan sebagai industri
yang mengolah bahan-bahan pertanian, maka sesungguhnya agroindustri sudah lama
dikenal di Sumut. Bahkan agroindustri adalah bentuk awal industri di Sumut,
karena Sumut adalah daerah agraris dengan primadonanya sub-sektor perkebunan. Berkembangnya
industri pertanian adalah konsekuensi logis masyarakat agraris. Agroindustri
yang berkaitan dengan pertanian dan mula-mula tumbuh itu umumnya adalah
industri rakyat yang dikerjakan dalam pola kerajinan rumah tangga.
Disamping industri yang mengolah bahan-bahan
pertanian, industri yang mula-mula berkembang di Sumut adalah industri yang
mengolah bahan-bahan tambang seperti minyak bumi di P. Brandan. Industri
pertambangan umumnya berskala besar sehingga harus ditangani modal asing atau
BUMN.
Di zaman penjajahan ada dua macam industri pertanian
dan pertambangan. Pertama adalah yang produknya dijual dipasar dunia. Kedua,
yang produknya untuk pasar dalam negeri atau untuk diekspor. Seperti diketahui
bahwa hasil industri minyak bumi sebagian besar di ekspor. Sedangkan industri
pertanian yang juga berorientasi ekspor adalah produk-produk karet, tembakau
deli dan kelapa sawit. Beberapa jenis industri pertanian memang lebih berorientasi pada pasar
dalam negeri daripada ekspor diantaranya adalah industri gula dan
penggilingan beras. Sedangkan industri
pertanian lain seperti kopi sebagian untuk ekspor dan sebagian lagi untuk
pasaran dalam negeri.
Di samping industri-industri pertanian dan
pertambangan di Sumut berkembang pula berbagai industri non-pertanian dan
non-pertambangan yang dikenal sebagai industri manufaktur seperti industri
perabot rumah tangga, mebeleir, alat-alat
besi (dibikin para pandai besi ), pengecoran logam dan lain-lain.
Berbagai industri itu mulai berkembang pesat pertengahan dasawarsa ’30 an.
Pemerintah mulai mengembangkan industri itu dengan berbagai alasan. Pertama,
untuk mengatasi pengganguran akibat depresi dan kejatuhan sektor pertanian.
Kedua, guna mengurangi ketergantungan pada barang-barang pabrik di luar negeri
khususnya pada masa perang, meski menurut kebijaksanaan industri 1937,
pemerintah kolonial tidak memberikan sokongan pada cabang-cabang industri yang
menyaingi barang-barang impor. Dan ketiga, guna mengurangi pengaruh buruk konjungtur perekonomian dunia.
Dalam pengembangan berbagai jenis industri tersebut, prinsip keuntungan
komparatif tentu jadi dasar pertimbangan. Diantaranya, ketersediaan bahan-bahan
hasil pertanian yang relatif melimpah
atau tersedia. Bahkan salah satu sebab pokok kolonialisasi Belanda
adalah guna bisa membangun pertanian yang menghasilkan bahan-bahan industri.
Dari situlah lahir industri pengolahan karet, teh, kopi, tembakau, tebu, kelapa
sawit dan berbagai industri berbasis perkebunan tanaman jangka pendek ( seperti
tebu dan tembakau ) atau perenial ( seperti
karet, the, kopi dan kelapa sawit).
Industri-industri pertanian tersebut adalah jenis
industri yang mempunyai kaitan ke belakang
(backward linkage), yaitu ke usaha pertanian. Perkebunan teh, kopi atau coklat di bangun guna memproduksi bahan-bahan minuman yang di sukai masyarakat
Eropa. Masyarakat dunia waktu itu banyak
membutuhkan gula, karet, pakaian, cat, alas kaki dan berbagai barang lainnya,
yang bahan bakunya hanya bisa diproduksi dalam jumlah dan jenis tertentu di luar Eropa.
Di masa kemerdekaan, industri pertanian seperti
inilah yang berkembang dan didorong
perkembangannya oleh pemerintah. Tapi industri pertanian
ini terdesak industri manufaktur yang berkembang dari kebijaksanaan
industrialisasi substitusi impor. Pada dasawarsa ’50 an, ketika Indonesia mulai
membangun dan pada saat yang sama negara-negara yang baru merdeka juga baru
bisa mulai membangun, kecenderungan umum
yang terjadi adalah dilaksanakannya kebijaksanaan industrialisasi sebagai
bentuk utama pembangunan.
Beberapa ciri
kebijaksanaan industrialisasi adalah pertama, mengutamakan sektor industri
dan mengabaikan pertanian. Kedua,
membangun industri untuk membuat
barang-barang yang selama itu di impor. Dengan kata lain, industri yang
dibangun adalah industri pengganti barang impor. Dan ketiga, bahan-bahan baku dan bahan
penolong industri tersebut harus diimpor.
Banyak sebab mengapa bahan baku dan bahan penolong
itu harus di impor. Pertama, barang yang akan dibuat adalah barang-barang yang
semula diimpor, karena itu bahan-bahannya juga masih harus diimpor. Kedua,
teknologi yang dipakai dibuat di luar negeri. Dan ketiga, bahan-bahan baku itu
belum bisa dibuat di dalam negeri. Karena itu maka salah satu ciri industri
substitusi impor adalah ketergantungannya pada bahan baku, bahan penolong dan
teknologi luar negeri. Industri substitusi impor umumnya adalah industri
perakitan, misalnya perakitan bahan-bahan kimia, perakitan barang-barang cair,
perakitan alat-alat, perakitan bahan-bahan tekstil dan bahkan juga perakitan
bahan-bahan makanan.
Jenis industri semacam itu berkembang pada masa Orde
Baru, terutama pada masa-masa awalnya. Yang biasanya jadi lambang industri
substitusi impor adalah kendaraan bermotor atau Coca-cola. Minuman model
Coca-cola dan minuman ringan (soft-drink)
lainnya barangkali hanya mempergunakan air dari Indonesia, bahan selebihnya
diimpor. Hingga kini jenis industri semacam ini masih terus berkembang.
Industri semacam itu hanyalah perluasan dan globalisasi pemasaran saja dari
industri di negara-negara maju, yang ditanam di Indonesia sebagai cabang
perusahaan patungan atau franchise
perusahaan induknya.
Jenis industri seperti itu tak bisa dibendung oleh
negara kita yang menganut sistem ekonomi terbuka. Karena itu sikap yang harus
diambil adalah sikap positif, dengan melihat segi-segi manfaat langsung atau
tak langsungnya. Bagaimana pun industri tersebut telah bisa memberi lapangan
pekerjaan dan penghasilan baru. Produksi
Coca-cola telah menciptakan lapangan kerja baru. Distribusinya paling tidak
juga mendorong pertumbuhan restoran, warung dan pedagang kaki lima. Banyak orang mendapat laba penjualan dan lapang pekerjaan dari
industri semacam ini.
Tapi manfaat yang paling
bernilai adalah ilham terhadap kaum wiraswasta
untuk membuat komoditi serupa. Salah satu reaksi positif masuknya
industri semacam ini adalah lahirnya industri teh botol dan teh kotak. Awalnya
banyak orang khawatir Coca-cola akan jadi ‘budaya’ baru di Indonesia mengingat semboyannya :
‘kapan saja dan dimana saja ( minum Coca-cola )’.
Tapi kini semboyan itu
agaknya telah dilupakan. Orang Indonesia dan orang Asia umumnya, masih akan
sakit perut minum coca cola di pagi hari. Demikian pula dalam pesta-pesta atau
seminar panitia lebih suka menghidangkan teh botol. Justru teh botol atau teh
kotak itulah yang ‘kapan saja dan
dimana saja ( cocok untuk diminum )’
Coca-cola hanya enak di minum jika telah didinginkan. Tapi tidak demikian
halnya teh botol dan teh
kotak. Orang malah ada yang ingin minum teh tanpa didinginkan, guna
menghindari pilek. Ternyata Coca-cola masih bisa dikalahkan teh botol.
Sungguh pun begitu minuman
dalam kemasan botol yang tahan lama dan praktis yang berasal dari luar negeri
itu telah berhasil merangsang tumbuhnya
produk-produk baru. Di antara yang terkenal adalah minuman Markisa dari Sumut
dan Sulsel. Keberhasilan minuman ini karena ia adalah produk khas suatu daerah.
Hingga kini daerah-daerah lain praktis belum mengembangkan produk Markisa ini.
Konsep agribisnis
Pada awal dasawarsa ’80 an, mulai dikenal konsep
agribisnis. Konsep ini di Indonesia mula-mula di populerkan sarjana ahli
pemasaran hasil-hasil pertanian lulusan Jerman, Prof.Dr.Ir. A.M.Saefuddin
(mantan Menteri Pangan kabinet Habibie, Pendiri Pusat Pengembangan Agribisnis),
melalui seminar IPB yang di prakasainya tahun 1989. Tapi perkembangan popularitas konsep ini sangat lamban. Baru akhir
dasawarsa ’80 an konsep ini mulai ramai dibicarakan.
Agroindustri sebenarnya
bagian integral dari konsep agribisnis yang berarti ‘bisnis dibidang
pertanian’. Karena itu, agribisnis adalah sebuah konsep pemasaran. Latar belakangnya, Pertama,
kesadaran bahwa hasil-hasil pertanian mudah rusak sehingga harganya cepat
jatuh. Kedua, hasil pertanian ini, juga pemasarannya tergantung musim. Jika
saat tidak musim, konsumen sulit mendapatkan hasil pertanian tersebut, tapi
bila saat panen, sering terjadi kelebihan produksi sehingga harganya jatuh dan
merugikan produsen. Ketiga, hasil pertanian tak mudah dikontrol. Sulit bagi
petani menentukan ukuran, volume, dan rasa buah, akar atau daun yang di jual. Ini menyulitkan pemasaran.
Latar belakang yang
penting adalah timbulnya konsep strategi pembangunan pada tahun ’50 an dan ’60
an yang beranggapan bahwa cara paling singkat
untuk membangun adalah dengan mencapai pertumbuhan tinggi yang hanya
bisa di capai lewat pembangunan industri. Pembangunan pertanian di anggap
warisan kolonial. Disamping itu, banyak keterbatasannya. Pertama, pembangunan
pertanian dihambat oleh apa yang dikenal dengan hukum kenaikan hasil yang
senantiasa berkurang ( law of deminishing
return ). Kedua, elasititas pendapatan terhadap hasil-hasil pertanian itu
kecil. Meningkatnya pendapatan masyarakat tak menimbulkan perubahan besar
terhadap permintaan hasil pertanian, tapi sebaliknya terhadap hasil industri
tinggi. Ketiga, dilihat dari segi konsumsi, menurut hukum Engels, makin tinggi
pendapatan masyarakat, makin kecil bagian konsumsi pangannya. Di samping itu,
nilai tukar hasil pertanian makin kecil terhadap hasil industri. Karena itu,
daya beli golongan masyarakat tani,
makin kecil.
Agribisnis adalah konsep pemasaran hasil-hasil
pertanian dengan mengingat sifat-sifat produk pertanian tersebut, Upaya
mengatasi kesulitan pemasaran itu; Pertama, dengan mempergunakan rekayasa
biologi dan bioteknologi dalam budidaya tanaman. Proses pertanian itu
dilaksanakan dengan menggunakan teknologi canggih, baik masinal (mempergunakan
alat-alat atau mesin-mesin), biologi (mengembangkan bibit unggul dan cara
pemeliharaan tanaman) maupun kimiawi ( penggunaan pupuk dan pestisida ). Kedua,
dengan penanganan pasca panen dan mengolah lebih lanjut hasil-hasil pertanian
itu. Dan ketiga, menggembangkan organisasi bisnis dan
manajemen modern, baik dalam proses produksi maupun distribusi atau pemasaran.
Meski agroindustri bagian dari agribisnis, tapi
agroindustri bisa melaksanakan dan mengintegrasikan seluruh sistem agribisnis.
Karena itu maka agroindustri bisa identik dengan agribisnis, setidak-tidaknya
merupakan penerapan dari sistem agribisnis. Dalam hal ini agribisnis adalah
upaya untuk mengatasi kendala pemasaran hasil-hasil pertanian dengan cara mengintegrasikan
secara vertikal proses produksi, pemasaran, bahkan konsumsi hasil-hasil
pertanian.
Strategi
Pengembangan
Agroindustri bisa merupakan bentuk pengintegrasian
seluruh proses dari penanaman, penanganan pascapanen, pemrosesan, dan pemasaran
hasil pertanian. Dengan upaya itu, hasil pertanian bisa diproduksi dalam skala
besar, tahan lama, sehingga cukup waktu bila dipasarkan secara nasional maupun
internasional. Contohnya, keripik kentang (potato
chips) produksi AS yang di pasarkan di seluruh dunia dalam jumlah besar.
Produk macam ini telah dikembangkan di Indonesia, walaupun sampai saat ini
masih dalam skala kecil, mutu yang rendah, dan harganya jauh lebih murah. Meski
begitu, kita bisa meniru dengan memanfaatkan kepopuleran produk AS tersebut.
Contoh lainnya, kripik
pisang merupakan makanan tradisional yang digemari. Meski begitu, keripik
pisang tradisional mungkin terlalu keras, bentuknya terlalu kasar, dan
kemasannya tak menarik. Sekarang keripik Lampung tersebut diproduksi dengan
kemasan baru dan di buat sedemikian rupa, seolah-olah sebuah produk khas
Lampung. Hampir setiap orang luar yang mengunjungi Lampung pasti membawa
oleh-oleh keripik pisang sebagaimana orang membawa minuman Markisa dari Sumut.
Dengan bioteknologi yang membuat pisang segar lebih
awet, misalnya hasil perkebunan Del Monte di
negara-negara Amerika Latin dan Filipina, pisang
itu dipasarkan di AS, Eropa Barat dan Timur Tengah. Padahal rasanya tidak
seenak pisang Barangan dan pisang Ambon misalnya. Bioteknologi tersebut tentunya
bisa juga membuat pisang Barangan dan pisang Ambon segar lebih awet dan rasanya
menjadi lebih enak, sehingga bisa
dipasarkan lebih luas.
Disamping pisang segar, salah satu produk yang bisa dikembangkan melalui
agroindustri pisang umpamanya adalah tepung pisang. Gagasan ini bersumber dari
makanan tradisional Indonesia. Sampai saat ini para ibu banyak yang
memberi bayinya makan pisang, disamping memberi susu. Mungkin, ibu-ibu
membutuhkan tepung pisang untuk makanan bayinya. Makanan bayi dari tepung pisang belum populer,
karena para ibu masih bisa mengatasi masalahnya dengan mendapatkan pisang segar
di pasar atau toko swalayan. Lagi pula memberi makan pisang kepada bayi dengan
pisang kini semakin populer. Menghadapi soal ini agribisnis bisa merancang suatu
produk makanan bayi dengan citra modern
dan lebih praktis, awet dan terjaga.
Saat ini kita masuk
tahap baru dalam agribisnis. Ciri pokok tahap baru ini adalah terdapatnya
kesadaran konsumen yang tinggi terhadap semula produk, terutama dari segi hygiene
dan kandungan gizi. Setiap produk makanan umpamanya, merasa perlu mencantumkan
kandungan isi (ingredient), gizi dan tingkat higiene-nya. Kandungan bahan makanan dan minuman, dan bukan sekadar rupa dan rasa,
bisa di jadikan bahan promosi.
Sekarang ini air putih pun laku di jual bahkan
harganya lebih tinggi dari bensin atau susu. Asal usulnya antara lain adalah
pengertian tentang air sehat yang dapat di minum (safe drinking water). Dalam kasus ini, industri telah berhasil
menciptakan citra tertentu pada air putih. Orang Barat sangat
berhati-hati minum air putih, mereka lebih “ selamat minum Coca cola “. Segi
ini tentu harus di pikirkan jika kita hendak mengekspor komoditi agroindustri.
Dewasa
ini di negara-negara
industri maju ada kecenderungan kuat
untuk mengkonsumsi sari buah asli ( 100% pure
) tanpa gula (unsweedtened). Produk
macam ini ada pada jenis sari buah jeruk, tomat, nenas, kelapa atau bahkan
rambutan, salak, pisang, semangka, durian dan manggis yang banyak di Sumut.
Pola permintaan pasar ini tentu saja perlu dijawab produsen. Hal itu bisa
menjadi jalan keluar bagi beberapa masalah pemasaran hasil-hasil pertanian di
Sumut.
Hal yang perlu dicatat adalah produk buah-buahan di
Sumut kurang mampu bersaing dengan produk impor, misalnya anggur, apel, jeruk
dan pir. Produk buah tropis kita juga belum bisa bersaing dengan produk yang
sama dari negara-negara Asia, misalnya, China, Thailand, Filipina, Taiwan atau
bahkan dari negara Timur Tengah dan Amerika Latin untuk pasaran AS dan Eropa.
Agroindustri bisa merupakan salah satu upaya mengatasi masalah tersebut.
Sumut juga harus bisa membuat nenas, markisa,
rambutan dan salak kalengan, cairan (minuman) atau konsentrat untuk ekspor.
Yang penting diperhatikan pada agroindustri buah-buahan tersebut adalah bahwa
seringkali bahan baku industri pengolahan dari kebun sendiri kurang bisa
mengguntungkan daripada hasil kebun pekarangan petani tradisional, sehingga
perlu dikembangkan kemitraan yang merupakan salah satu prasyarat agribisnis.
Selain jaminan bahan baku yang kontinyu, keseragaman dan jenis buah juga harus
diperhatikan. Kasus kegagalan pendirian pabrik nenas di Jambi
dan Jabar bisa menjadi pelajaran. Ketika mesin telah di datangkan, ternyata
nenas yang akan di olah terlalu kecil walau sangat manis. Padahal ternyata
petani tidak bisa disuruh mengubah
tanaman nenasnya begitu saja. Mereka lebih suka menanam nenas tradisional yang
manis untuk pasaran lokal, akibatnya pabrik tak bisa berproduksi. Dengan
begitu, pabrik pengolahan nenas bisa menimbulkan pola penanaman nenas atau
sebaliknya. Demikian pula jika kita hendak mendirikan pabrik penggolahan
rambutan, salak, markisa, dan bahan minuman atau kalengan lainnya, industri
tersebut harus berbentuk integrasi vertikal antara pengolahan dan budidaya.
Cara yang lebih praktis untuk mengembangkan
agroindustri adalah dengan mengundang industri yang sudah mantap pemasarannya,
misalnya industri restoran. Restoran yang telah terkenal bisa mengkonsumsikan
hasil-hasil pertanian. Jika restoran semacam Rumah Makan Garuda dan Rumah Makan
Wong Solo dengan Ayam Pop dan Ayam Panggang-nya dapat dikembangkan di seluruh
Sumut, terutama di kota-kota menengah, dengan sistem franschise, maka kebutuhan dan produksi ayam akan meningkat. Para
perternak kecil akan bisa menjadi pemasok dalam jumlah besar.
Sebenarnya produk tradisional bisa memberi ilham
kepada pengembangan agroindustri di Sumut. Contohnya, sate, khususnya sate ayam
dan sate kambing yang sudah demikian terkenalnya lewat pariwisata. Jika di
promosikan diluar negeri, ini bisa menarik minat konsumen yang telah
mengenalnya. Permintaan sate ini kini telah tumbuh di Singapura, Hongkong,
bahkan di Jepang. Tapi tak ada orang di negara-negara itu yang memproduk sate,
karena itu mereka lebih suka mengimpor sate. Orang Sumut, sudah barang tentu,
sanggup memproduk sate. Masalahnya, sanggupkah mereka memproduk sate dalam
jumlah yang cukup besar, ajeg dan cepat sehingga bisa dikirim sore hari atau
pagi hari sesuai dengan jadwal pesawat
terbang ?. Persyaratan hygiene
tentunya, harus bisa dipenuhi. Hal ini menyangkut tehnik produksi, pengemasan
dan penggunaan kontainer serta kerja sama dengan perusahaan penggangkutan.
Penutup
Pengembangan agroindustri di
pedesaan Sumut sudah seharusnya
dilakukan dengan suatu proyek terpadu. Tapi pola ini membutuhkan modal yang
besar dan teknologi yang canggih. Cara yang lebih praktis adalah mendirikan
industri dari hasil usahatani rakyat yang sudah siap, seperti pabrik pengolahan
pisang, rambutan, salak, kelapa, atau tepung ikan di pedesaan. Sudah barang
tentu di perlukan upaya-upaya pengorganisasian pada tingkat
produksi/usahatani rakyat tersebut. Tapi
dengan di bangunnya suatu agroindustri, pasar produk pertanian rakyat khususnya
di pedesaan tadi bisa terjamin.
Sungguh pun begitu, sudah waktunya kita
mengembangkan suatu agroindustri di pedesaan Sumut yang sifatnya terpadu dengan
penggunaan teknologi canggih seperti bioteknologi. Dalam hal ini, agroindustri
merupakan jalan keluar dari berbagai permasalahan pemasaran hasil-hasil
pertanian di Sumut dewasa ini.
_________
*) Komisaris Utama Pusat Pengembangan Agribisnis
**) Direktur
Cabang Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar